Jumat, 26 Oktober 2012

Adab dan Tujuan Pendidikan


Adab dan Tujuan Pendidikan

“Adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.  Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan.” ( Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin)
A.      Latar Belakang
Krisis yang paling menonjol dari dunia pendidikan kita adalah krisis moral. Dapat disaksikan saat ini betapa dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat menahan kemerosoton moral yang terjadi. Titik berat pendidikan masih lebih banyak pada masalah kognitif. Penentu kelulusan pun masih lebih banyak pada prestasi akademik dan kurang memperhatikan aspek moralitas siswa. Kondisi ini tampak semakin parah jika kita mencermati statistik perkembangan terkait kasus-kasus moral buruk pelajar maupun mahasiswa, seperti tawuran sesama mereka dan masalah pergaulan bebas yang sudah sangat meresahkan dan membosankan sebagian orang yang mendengar beritanya.
Sebenarnya para ilmuwan muslim telah mencoba menjawab permasalahan moralitas dalam dunia pendidikan, namun sayangnya hampir sebagian besar masih terjebak dalam epistemologi pendidikan Barat. Padahal paradigma keilmuwan Barat hanya melahirkan dualisme dan relativisme kebenaran yang menjurus pada kebingungan dan kerancuan pemikiran.
Jika kita mencermati tradisi keilmuan Islam, sebenarnya ada istilah yang khas tentang pendidikan moralitas, yaitu adab. Oleh karena itu kita sepatutnya mempromosikan kembali adab sebagai solusi untuk menjawab masalah moralitas dalam dunia pendidikan kita.

B.       Mengurai Makna Adab
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S.  Poerwadarminta, kata adab didefinisikan sebagai: kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, dan akhlak. Sedangkan beradab diartikan sebagai sopan, baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinnya.
Istilah adab tentu saja bukan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Sebab, kata ini sudah terbiasa digunakan di tengah masyarakat dan juga tercantum dalam Pancasila, sila kedua, yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab.  Masuknya istilah adab dalam Pancasila ini merupakan indikasi kuatnya pengaruh pandangan dunia Islam (Islamic worldview) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, dimana terdapat rumusan Pancasila. Masuknya istilah adab dalam sila kedua Pancasila, diduga kuat merupakan buah perjuangan sejumlah tokoh Islam – yang sekaligus pendiri bangsa – terutama empat anggota Panitia Sembilan BPUPKI, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikusno Tjokrosoejoso, dan  Abdul Kahar Muzakkir.
Adab tidak dapat  hanya dimaknai sebagai  sopan-santun, jika  adab hanya dimaknai sebagai sopan-santun, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrohim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan-santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil  munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab.
Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab seorang Muslim senantiasa berdoa: Rabbi zidniy ’ilman (Ya Alloh, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rosululloh SAW juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Alloh SWT. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim.

C.       Adab dan Tujuan Pendidikan
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan tujuan pendidikan menurut Islam adalah untuk mengetahui tempat yang tepat dari sesuatu dalam susunan ciptaan-Nya yang dapat menggiringnya pada pengakuan mengenai kekuasaan Alloh SWT dalam susunan makhluk dan wujud. Jadi ilmu pada prinsipnya adalah untuk mengenal Alloh SWT. Oleh karena itu pendidikan bertujuan menghasilkan manusia yang baik (to produce a good man) bukan sekedar abdi negara yang baik (a good citizen). A good man akan otomatis menjadi a good citizen, tapi tidak sebaliknya, a good citizen belum tentu menjadi a good man.
Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan Barat yang bertujuan hanya sekedar untuk menciptakan abdi negara yang baik (good citizen). Konsepsi Barat ini jelas sangat bertentangan sekali dengan konsepsi hidup dan pendidikan yang diajarkan Islam. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir dari kehidupan seseorang adalah Alloh SWT. Kesetiaan sejati kepada negara-bangsa bukan hanya mustahil bagi seorang Muslim, tapi juga dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Inilah sesungguhnya poin penting yang membedakan sistem pendidikan Islam dengan Barat.
Dengan berpijak kepada konsep adab dalam Islam, maka “manusia yang baik” atau “manusia yang beradab” (yang merupakan tujuan pendidikan menurut Islam), adalah manusia yang mengenal Tuhannya, mengenal dan mencintai Nabinya, menjadikan Nabi SAW sebagai uswah hasanah, menghormati para ulama sebagai pewaris Nabi, memahami dan meletakkan ilmu pada tempat yang terhormat – paham mana ilmu yang fardhu ain, dan mana yang fardhu kifayah; juga mana ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang merusak – dan memahami serta mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifatulloh fil-ardh dengan baik. Wallohu a’lam.




Kamis, 25 Oktober 2012

Selamat Merayakan Idul Adha 1433 H


Download file PDF PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN DUNIA ISLAM

http://www.scribd.com/doc/111122935

PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN DUNIA ISLAM



PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN DUNIA ISLAM*
Presentator: ABU ZAKIYURRAHMAN AL-KLAMFITANFURY**
Pengantar
Lahirnya filsafat di dunia lslam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para Mutakallimin yang telah menggunakan logika/mantik (arab: manthiq) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah ataupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti yang paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqhu al-Akbar  karya Abu Hanifah rah. (w.147 H/ 768 M).1  Selain menggunakan mantik, beliau rah. juga menggunakan istilah filsafat seperti jawhar (substansi) dan `aroodh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoteles dalam buku-bukunya.
Ini membuktikan bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum muslim pada abad ke-2 H/ 8 M. Hanya saja tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji sebagai arus utama kajian mereka pada zaman itu. Bukti diatas hanya membuktikan bentuk pemanfa`atan (intifa`) terhadap mantik sebagai teknik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini  juga tidak dapat digunakan untuk mengambil kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan bahwa logika telah dipelajari secara mendalam sebagai arus utama kajian mereka,  sebagaimana rumusan logika yang diuraikan oleh lbnu Sina.2  Sebab bukti yang akurat menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani dinegeri lslam baru terjadi setelah aktifitas penerjemahan filsafat Yunani pada zaman Khilafah Abbasiyah.
Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat didunia lslam. Karena itu pasca generasi Washil bin Atho` (w.131 H/ 752 M), kemudian filsafat Yunani dipelajari secara mendalam sebagai arus utama kajian ushuluddin oleh ulama Mu`tazilah seperti Dhirar bin `Amr (w.182 H/ 803 M),  Abu Hudhail al-`Allaf (w.226 H/ 847 M), an-Nazhzhom (w.221 H/ 873 M) dan sebagainya. Dari sinilah kemudian, lahir kitab-kitab kajian bercorak filsafatis buah karya mereka, seperti: Kitaab ar-Radd `ala `Aristhothuliis fil Jawahir wal `Aroodh karya Dhirar bin `Amr, Al-jawaahir wal `Aroodh  dan Tathbiit al-`Aroodh karya Abu Hudhail al-`Allaf, Kitaab al-Manthiq dan Kitaab al –Jawaahir wal `Aroodh karya an-Nazhzhom.3
Disamping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak Khalifah Makmun murid Abu Hudhail al-`Allaf tokoh Mu`tazilah Bashrah mendirikan Baytul Hikmah tahun 217 H/ 813 M sebagai pusat kajian filsafat yang dipimpin pertama kali oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini pula al-Kindi (w.260H/ 873M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w.200 M/815 M) dan lbnu Na`imah (w.220 M/ 830 M).4  Di sinilah Al-Kindi juga dibesarkan sebagai “filosof Arab” pertama. Setelah itu menyusul nama-nama lain seperti: al-Farabi (w.339 H/ 951 M) dan lbnu Sina (w.428 H/ 1049 M). Mereka adalah para filosuf yang hidup di Timur. Di Barat lahir nama-nama seperti lbnu Bajjah (w.503 H/ 1124 M), lbnu Thufail (w.581 H/ 1185M) dan lbnu Rusyd (w.600 H/ 1217 M).
Secara umum filsafat mereka tidak jauh berbeda dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, lbnu Sina, lbnu Bajjah, lbnu Thufail maupun lbnu Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan pandangan kedua tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi , atau bahkan mencoba mengkompromikan lslam dengan pandangan kedua tokoh ini, seperti yang dilakukan al-Kindi6 atau lbnu Rusyd.7 Karena itu tepat sekali apa yang  dikemukakan oleh lbnu Kholdun rah. (w.758 H/ 1390 M) yang mengatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahiluun).  Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran orisinil mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang mereka jiplak dan mereka kembangkan dari pemikiran filsafat Yunani tersebut yang sebelumnya mereka pelajari. Jumlah mereka, menurut an-Nabhani rah. tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat lslam pada zamannya.
Sementara itu, filsafat Persia dan lndia yang bercorak sufistik juga berkembang di dunia lslam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah itu pada permulaan lslam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan ”filosuf Muslim”, tetapi filsafat Persia dan lndia tidak. Salah satu faktornya  adalah kemungkinan besar karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut –kalau tidak boleh dibilang tidak ada- yang bisa dikaji kaum muslim saat itu.
Adakah Filsafat dalam Islam?
Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata Philosophia. Menurut lbnu Nadim al-Hanafi (w.380 M/ 985 M),  mengutip keterangan Plutarch (W. +  100 M), istilah ini digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM)8, yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang pertama kali meng-arabkan adalan Yahya bin al-Baitriq (w.200 H/ 815 M) penerjemah buku Timeaus karya Plato. Sebab kata philosophia ada dalam buku tersebut.9 Hanya saja bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-uulaa fii maa duuna ath-thobi`iyyah wat tawhiid karya al-Kindi.10
Philosophia sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani kuno), yaitu philos dan shopia. Philos artinya cinta; atau philia artinya persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis dan intelegensi.11  Philosophia menurut al- Syahrastani (w.548 H/ 1153 M), berati mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), orangnya disebut  faylasuf atau muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan).12 lni seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashor Kitaab at-Tuffahaah (Ringkasan Kitab Apel).13
Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi dua: qowliyyah (intelektual) dan `amaliyyah (praktis).14  Sebab kebahagiaan (happines) yang dikehendaki oleh filosuf adalah subtsansinya; virtuous activity is identical happiness (melakukan kebaikan identik dengan kebahagiaan).15  Kebahagiaan ini hanya bisa diraih dengan wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good)  maupun melaksanakan kebaikan (virtous activity).16 Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakekat sesuatu sesuai  dengan kemampuan (akal) manusia.17 Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksisitensi kebenaran itu sendiri.18 Al-Khowarizmi (w.336 H/ 976 M) menyebutnya pengetahuan tentang hakekat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoritis (nazhori) dan yang praktis (`amali).19
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang beberapa hal, baik yang bersifat teoritis dan praktis. Secara teoritis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (Al-haqq)? Secara praktis, filsafat menawarkan apa itu kebaikan (al-Khoyr).  Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus menawarkan solusi-solusinya. Karena itu, dalam konteks inilah, lbnul Qoyyim al-Jawziyah rah. (w.751 H/ 1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah faham (isme) di luar agama para Nabi  As. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.20 Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu –baik sebagai ajaran maupun pengetahuannya- tidak ada dalam lslam. lslam telah mengajarkan tentang kebenaran (Al-Haqq) dan kebaikan (Al-Khoyr), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, lslam telah menjelaskan hakekat akal dan batasan akal, metode berfikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk kitab At-Tafkiir karya Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani rah.
Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam
Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosuf pada zaman keKhilafahan lslam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya pengguna logika (mantik), telah merambah hampir keseluruh bidang:  mulai dari bidang ushuluddin (akidah), ushul fikih hingga pemikiran derivatnya.
Di bidang akidah, pengguna logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan ulama ushuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum muslim diwarnai perdebatan demi perdebatan.  Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan fungsinya sebagai pondasi pemikiran. Para ahli kalam yang kebetulan juga ulama ushuluddin sekaligus ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola pikir tersebut dalam kajian ushul fikih. Perdebatan tentang hasan-qobih, khoyr-syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tak pelak lagi, ushul fikihpun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan fungsinya sebagai kaidah/ pondasi yang digunakan untuk menggali hukum-hukum syara`.
Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum muslim tentang keimanan pada qodho` dan qodar, surga, neraka serta keimanan yang bulat kepada Allah Swt. Kondisi ini diperparah oleh pandangan sufisme –yang banyak dipengaruhi filsafat lndia dan Persia- seputar kehidupan panteistik dan asketik dan lain-lain. Semua ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum muslim. Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya  ketajaman intelektual  kaum muslim dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Daya kreatifitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihadnya mandeg; bukan hanya karena adanya seruan  ditutupnya pintu ijtihad semata, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah isthinbathi (penggalian hukum).
Setelah semua itu, maka sempurnalah kejumudan kaum muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang datang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalahpun akhirnya menumpuk. Beban merekapun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan Renaissance-nya, merekapun bingung: menerima kemajuan Barat atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang menolak secara ekstrem produk Barat dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun diantara mereka  yang bisa membedakan: mana tsaqofah dan mana `ulum; mana hadhoroh dan mana madaniyah.          
Seiring  dengan kekalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum muslim, mulai yang bersifat  fisik maupun non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat  mulai diperkenalkan kepada kaum muslim. Lalu model fikih taqniin (yang  membentuk undang-undang dengan pasal –perpsal) pun mulai muncul; sebut saja Al-Ahkaam Al-`Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk menggantikan perundang-undangan lslam. Kemudian terjadi pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syari`ah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum lslampun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dibidang al-akhwaal asy-syakhshiyyah.
Selanjutnya, tepat tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakuan hukum lslam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah dan dibekukannya Islam oleh Mustafa Kamal Attaturk. Setelah itu sampai saat ini, kehidupan kaum muslim tetap terpuruk. Demikianlah proses yang sangat panjang, bagaimana pengaruh kajian filsafat berakibat pada kerusakan akidah kaum muslim hingga ending-nya berkontribusi  yang  sangat besar pada kemunduran dunia lslam. WAllaahu a`lam bi ash-showab.
----------------------------------------------
*  Naskah Makalah Diskusi Pekanan yang dipresentasikan di musholla Al-Hikmah blok Babakan Negla pada hari Sabtu tanggal 20 Oktober 2012.
** Presentator adalah aktifis syabab Hizbut Tahrir, tinggal di Haurgeulis.
Catatan Kaki:
1         Abu Hanifah rah. mengatakan: “Allah Swt. adalah satu (yang diketahui) bukan melalui angka, tetapi dengan cara Laa syariika Lahu.” Lihat: Abu Hanifah, Matan al-Fiqh al-Akbar, hlm. 323. lni melanjutkan perdebatan Plato tentang angka, apakah angka itu sebagai substansi ataukah aksiden. Untuk keluar dari perdebatan itu, kelihatannya beliau rah. menggunakan jawaban taktis tersebut.
2         Menurut lbnu sina, logika (manthiq) meliputi sembilan kajian. Pertama, pembahasan tentang pembagian lafal/ diksi dan makna, dijelaskandalam kitab al-Madkhol karya Pirtoes. Kedua, pembahasan tentang makna angka tunggal, yang dijelaskan dalam kitab Categories karya Aristoteles. Ketiga, pembahasan tentang susunan makna tunggal secara positif dan negatif, dijelaskan dalam kitab On Interpretation karya Aristoteles. Keempat,  pembahasan tentang susunan proposisi atau analogi, dijelaskan dalam kitab Prior Analitycs karya Aristoteles. Kelima,  pembahasan tentang pengetahuan mendalam syarat-syarat menyusun proposisi yang menjadi premis-premisnya, dijelaskan dalam kitab Ponethyca karya Aristoteles. Keenam, pembahasan tentang analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada orang yang kurang paham, dijelaskan dalam kitab Tonica karya Aristoteles. Ketujuh, pembahasan tentang kesalahan berpikir yang terjadi dalam menyusun argumentasi dan penggunaan dalil, dijelaskan dalam kitab On Sophistical Refutations karya Aristoteles. Kedelapan,  pembahasan tentang standar pidato yang bermanfaat yang terangkum dalam kitab Rehtoric karya Aristoteles. Kesembilan,  pembahasan tentang ungkapan sya`ir yang terangkum dalam kitab Rethoric karya Aristoteles. Lihat: ibnu Sina, Risaalah fiiAqsaamil `Uluum al-`Aqliyyah, ed. Amir Samsuddin, Asy-syarikah al-`Aalamiyyah lil Kuttab ,Bayrut, hlm.271-272.
3         Ibnu Nadim, al-Fihrist, ed. Yusuf `Ali, Daar al-Kutub al-`llmiyyah, Bayrut, 1996, hlm. 286,288 dan  299.
4         Al-Kindi, Rosa-il al-Falsafiyyah li Abi Ya`qub al-Kindi, ed. Badawi, Daar Andalus, Bayrut, hlm. 156.
5         Ibnu Thufayl, Hayy bin Yaqzhan, ed. Ahmad Amin, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1952, hlm. 62.
6         Al-Kindi, ibid, hlm. 35 dan 36
7         Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal fii mai bayna al-syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal, hlm. 33.
8         Ibnu Nadim, ibid, hlm. 400.
9         --------------, Ibid, hlm. 402; Lihat: Plato, Timeaus, http://books.mirror.org/gb.plato.html., 19 November 2001.
10      --------------, Ibid, hlm. 415.
11      Tim Rosda, Kamus Filsafat, Penerbit Rosda Karya, Bandung, hlm.249.
12      Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, hlm. 364; lihat: Aristoteles, Nicomachean Ethics, Book I, Part 6,  http://books.mirror.org/gb.Aristotle.html., 19 November 2001.
13      Socrates, Mukhtashar Kitab al-Tuffahah al-Mansub li Suqrath, hlm. 222. Lihat: Aristoteles, Kitab al-Tuffahah al-Mansub li Aristhutalis, hlm. 234. Lihat: Plato, Fiddun wa Kitab al-Tuffahah, ed.Ali Sami an-Nasysyar, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1974, hlm. 222 dan 234.
14      Aristoteles, Nicomachean Ethics, http://books.mirror.org/gb.Aristotle.html., 19 November 2001. Lihat: Aristoteles, Politics, http://books.mirror.org/gb.Aristotle.html., 19 November 2001.
15      -------------, Ibid.
16      -------------, Prior Analytics, http://books.mirror.org/gb.Aristotle.html., 19 November 2001.
17      Al-Kindi, Rasail al-Kindi al Falsafiyyah, ed. Abu Ridah, Kairo, 1950, Juz I, hlm. 97.
18      Al-Faraby, al-Jam’ Bayn Ra’yay al-hakimayn, ed. Albert Nashri Nader, al-Mathba’ah al-Kathulikah, Bayrut, 1969, hlm. 81.
19      Klasifikasi ini dilakukan oleh Aristoteles, yang telah membagi hikmah (wisdom) menjadi dua: yaitu praktis dan teoritis. Lihat: Aristoteles, Nicomachean  Ethics, Book I, Part 8 & 13, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html, 19 november 2001.
20      Al-Jawziyah, Ibnul Qayyim, Ighatsah al-Lahfaan min Masyayyid al-Syaythan, ed. Muhammad al-Faqqi, t. p., t.t, hlm. 257.







Jumat, 19 Oktober 2012







Buletin Gerbang Muhlisin Edisi I, 03 Dzulhijjah 1433 H
Diterbitkan oleh Korp Muballigh Muhammadiyah Haurgeulis setiap hari Jum'at
Download pdf AKAL DAN WAHYU

Download pdf Buletin Gerbang Muhlisin Edisi I 30 Dzulhijjah 1433 H

Buletin Gerbang Muhlisin Edisi I, 30 Dzulhijjah 1433 H


Perspektif Islam Tentang Pendidikan

“Kaum Muslimin dikalahkan, dibantai; negeri dan kekayaannya dirampas, demikian juga kehidupan dan harapannya. Mereka ditipu, dijajah dan diperas, ditarik dan dipaksa atau melalui penyuapan untuk masuk ke dalam agama-agama lain. Dan mereka disekulerkan, di Baratkan, dan di de-islamisasikan oleh agen-agen musuh mereka di dalam dan di luar diri mereka… pada hari ini mereka mempunyai “citra” yang sangat buruk. Dan pada saat ini ummat berada pada tingkat terendah dibanding negara-negara yang ada.” (Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan)

A.      Latar Belakang
Krisis yang dialami Umat Islam saat ini tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik, atau teknologi. Umat Islam hari ini dihinggapi krisis intelektualisme atau pemikiran. Maka keberhasilan apa pun dan dalam bidang apa pun yang dilakukan hanya akan bersifat sementara dan tidak akan langgeng selama aspek pemikiran masyarakatnya belum diperbaharui. Jika pemikiran adalah produk pendidikan, dan pemikiran itu saat ini mengalami kemandekan, maka jelaslah bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.
Kemandekan intelektual ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apa sesungguhnya yang menyebabkan vitalitas intelektual Islam yang sejak dini bergeliat dengan sedemikian gesit, menjadi tiba-tiba kehilangan rentaknya ?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, patutlah kiranya kita mencermati lagi tradisi keilmuan Islam yang selama berabad-abad telah ditumbuh-suburkan oleh para ulama dan cendikiawan muslim. Kita perlu mencermati kembali tentang tujuan pendidikan dan metode pendidikan yang selama ini dipraktikan apakah telah sesuai atau tidak lagi sesuai dengan konsepsi Islam.


B.      Definisi dan Tujuan Pendidikan

1.       Definisi Pendidikan
Istilah pendidikan dalam Al Qur’an dapat ditemukan pada akar dari dua kata, yaitu rababa dan rabâ. Dari akar kata rababa lahir kata rabb. Kata ini biasa diartikan secara sederhana dengan kata Tuhan. Tetapi jika melihat makna semantiknya dalam bahasa Arab, kata rabb dan yang seakar dengannya memiliki cakupan makna yang sangat luas, antara lain memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi nikmat dan mengawasi. Semua kata rabb di Al Qur‘an berarti Tuhan yang memiliki sifat-sifat seperti di atas, dan tentu lebih dari itu semua, kecuali hanya di beberapa tempat yang bermakna tuan/ majikan, raja dan seseorang yang memberi nikmat, yaitu pada Qur’an Surat Yusuf : 23, 41, 42 dan 50. 
Kata rabâ dalam bahasa Arab berarti tumbuh, bertambah dan berkembang. Dari kata ini lahir kata rabbâ, yurabbî, tarbiyah yang biasa diartikan dengan mendidik dan pendidikan. Fakultas yang membidangi pendidikan di perguruan tinggi Islam disebut tarbiyah. Menurut sebagian pakar, kata tarbiyah berasal dari kata rabbaba, kemudian untuk meringankan pengucapan (takhfîf), huruf ba yang terakhir diganti dengan huruf ya. Hujan dinamakan rabâb karena ia menumbuhkan dan menjaga kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan. Dalam Alquran tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu antara lain; ar-rabb, rabbayânî (QS. Al-Isra : 24), nurabbika (QS. Al-Syu`ara : 18), rabbâniyyîn (QS. Âl Imran : 79). Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.


2.       Tujuan Pendidikan
Dalam bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan dengan kata maqoshid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini merupakan kata jadian dari qoshada yang tersebar dalam al-Qur’an yang memberi arti pokok. Berdasarkan istilah tersebut di atas, maka tujuan pendidikan (maqoshid  al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan umum (aims) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia.  Manusia dalam al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh Alloh SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya. 
Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia merupakan pilihan Maha Pencipta untuk menguasai jagat raya ini. Untuk menjadikan manusia terbaik itu, maka Alloh SWT sendirilah sebagai “pendidik” secara langsung kepada manusia pertama, yaitu Nabiyulloh Adam ‘Alaihissalam. Sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah, Ayat 30.
Pendidikan Islam harus diselenggarakan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk dan membina karakter manusia supaya menjadi insan kamil yang beriman, bertakwa dan berakhlak kepada Alloh SWT berdasarkan fitrah yang dibawanya sejak lahir. Fitrah yang dibawa manusia sejak dalam kandungan merupakan perwujudkan komitmen antara manusia sebagai makhluk dan Alloh SWT sebagai Tuhannya. Komitmen yang sudah terbentuk itu harus diperkuat agar manusia tetap lurus mentaati perintah Alloh SWT. Sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Rum, Ayat 30. 
Dari uraian tersebut tampak bahwa pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan dalam pandangan Al Qur’an.


C.      Metode Pendidikan

1.       Hierarki Ilmu
Para ulama umumnya sepakat bahwa ada ilmu yang fardhu bagi setiap Muslim (fardhu ‘ain) dan ada yang fardhu bagi sebagian Muslim (fardhu kifayah). Disebut fardhu karena jika ilmu ini tidak diketahui maka individu muslim (di dalam fardhu ‘ain) atau segolongan muslim (di dalam fardhu kifayah) terancam mendapat dosa dan murka Alloh SWT.

Lebih rinci, al-Ghazali membuat bagan hierarki ilmu sebagai berikut:
a.       Ilmu syariah, yaitu ilmu yang berasal dari para Nabi dan Rosul yang tidak diperoleh melalui perantaraan akal (seperti berhitung), atau melalui percobaan (seperti kedokteran), atau juga melalui pendengaran (seperti bahasa). Semua ilmu syariah merupakan ilmu terpuji. Terpuji di sini dapat diartikan sebagai ilmu yang dapat memberikan kebaikan (bermanfaat) baik bagi yang mempelajarinya maupun orang lain. Ilmu syariah dibagi lagi dalam dua kelompok :
1)      Fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib bagi setiap Muslim
2)      Fardhu kifayah, yaitu ilmu yang wajib bagi sebagian Muslim
b.      Ilmu bukan-syariah, yaitu semua ilmu yang di luar pengertian ilmu syariah. Ilmu ini dapat digolongkan lagi menjadi:
1)      Terpuji. Ilmu ini terbagi lagi dalam dua kelompok
§  yaitu ilmu fardhu kifayah
§  ilmu utama, yaitu ilmu yang bukan fardhu tetapi bermanfaat untuk melengkapi atau menyempurnakan ilmu-ilmu fardhu. Contohnya, detail-detail ilmu kedokteran atau matematika.
2)      Mubah, yaitu ilmu yang dalam tinjauan agama tidak membawa kebaikan maupun keburukan bagi yang mempelajarinya atau orang lain. Contohnya ilmu puisi atau ilmu sejarah.
3)      Tercela, yaitu ilmu yang membawa keburukan bagi yang mempelajarinya atau orang lain. Contohnya adalah ilmu sihir.

Pengelompokan di atas bukan hanya sekedar klasifikasi tetapi juga menunjukkan derajat kedudukan ilmu yang satu terhadap ilmu yang lain. Dengan demikian, berdasarkan bagan hierarki ilmu tersebut, ilmu fardhu ‘ain lebih tinggi dari fardhu kifayah. Begitu juga ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu syariah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu bukan-syariah.

2.       Tahapan dalam Belajar
Konsep pendidikan Islam adalah konsep yang mengedepankan kasih sayang. Para pendidik harus mampu memahami karakter masing-masing peserta didiknya, terutama memahami tingkat kemampuan berfikir (penalaran) masing-masing peserta didik agar dapat memberikan arahan yang tidak memberatkan bagi para peserta didik. Oleh karena itu tahapan belajar yang baik adalah sebagai berikut:
a.       Proses pendidikan dimulai dari mempelajari yang paling penting bagi murid. Ilmu yang paling penting adalah ilmu fardhu ‘ain. Ilmu fardhu ‘ain adalah prioritas pertama setiap pelajar. al-Ghazali mencela orang yang menyibukkan diri dengan ilmu fardhu kifayah tetapi melupakan ilmu fardhu ‘ain.
b.      Dimulai dari yang paling mudah karena memulai belajar dari yang paling mudah memberikan semangat dan menghindarkan diri dari rasa putus asa. Oleh karena itu dalam mendidik guru hendaknya menyesuaikan penyampaian pelajaran sesuai dengan kecerdasan atau daya tangkap murid. Al-Ghazali melarang seorang guru memaksakan suatu pelajaran yang tidak bisa dicapai atau belum siap diterima oleh muridnya.
c.       Mengikuti urutan ilmu karena ilmu itu memiliki urutan, dalam pengertian suatu ilmu baru bisa dipahami jika sudah dikuasai ilmu yang lain, atau kita sebut dengan ilmu prasyarat. Dalam kasus-kasus tertentu, untuk memahami suatu ilmu seseorang harus memahami dulu ilmu prasyarat.

D.      Pendidikan sebagai Benteng Keimanan
Dalam Islam, iman tanpa dasar ilmu alias taqlid dinyatakan tidak sah. Seorang yang mengaku mukmin wajib memiliki dalil, bukti atau argumentasi, meskipun itu ijmali (dalil global tidak detail), atas klaim keimanannya. Dengan demikian, kesaksian akan keesaan Alloh SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rosululloh seperti yang tersimpul dalam kalimah syahadatayn bukanlah pengakuan lisan tanpa alasan, ucapan tanpa landasan; syahadah dalam perspektif Islam adalah kesaksian yang berkonotasi pada ilmu yang berdasarkan bukti. Oleh karena itu ilmu dan lebih luas lagi, pendidikan merupakan benteng keimanan yang harus terus-menerus ditegakan. Wallahu a’lam.