AKAL DAN WAHYU
(Makalah Diskusi Mingguan
Mushola Al-Hikmah Babakan Negla)
Penyusun: Rotasi
Dinamo
A. Definisi Akal dan Wahyu
1.
Definisi Akal
Dalam Ensiklopedi
bahasa Arab, lisan al-'Arab,
pakar bahasa Arab
kenamaan, Sibawayh, menjelaskan
bahwa akal adalah sifat; 'uqila lahu shay'un berarti dijaga atau diikat
(hubisa)
akalnya dan dibatasi. U'tuqila lisanuhu idha hubisa wa muni'a l-kalam
(u'tuqila lidahnya, jika ia dibatasi dan dilarang berbicara).
'aqaltu l-ba'ir, berarti
saya telah mengikat
keempat kaki unta.
Ibnu Bari mengartikan akal
dalam syairnya sebagai
sesuatu yang memberikan
kesabaran dan wejangan (maw'izah) bagi
orang yang mempunyai kebutuhan
(hajah). Sehingga dikatakan:
al-'aqil alladhi yahbisu nafsahu wa yarudduha 'an hawaha (orang berakal
adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma'qul
(masuk akal) berarti ma ta'qiluhu bi
qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan hati/kalbumu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa
akal berarti kepastian
(verification, making
sure, certitude) dalam segala perkara. Dinamakan akal, karena
dua alasan, yaitu (i) Mencegah
pemiliknya (manusia) untuk terjerumus kedalam jurang kehancuran dan (ii) Pembedaan yang membedakan manusia dari semua
hewan. Makna kata akal
yang berarti suatu
yang terikat atau
ikatan, juga diperkuat
dengan pernyataan Abu Bakar
ketika orang-orang Arab enggan membayar zakat. Beliau berkata: seandainya
mereka enggan (membayar) kepadaku seutas tali ('iqalan) yang dulunya
mereka bayarkan kepada Rasulullah SAW, sungguh akan aku perangi mereka (Shalahuddin,
2007:2).
Akal juga
dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang diperoleh via jalan
umum, baik itu melalui indra dan eksperimen, pemikiran dan pembuktian, teks,
serta penyaksian batin (Yusufian, 2011: 11-15). Pendeknya akal adalah segala
bentuk ikhtiar pengetahuan yang dapat diupayakan oleh manusia pada umumnya.
Untuk
kepentingan diskusi mengenai akal dan wahyu, maka definisi akal yang akan
digunakan adalah definisi akal sebagai keseluruhan pengetahuan yang diperoleh
via jalan umum.
2.
Definisi Wahyu
Tanpa
harus masuk kedalam detail arti kosa-kata ini secara kebahasaan, dapat disimpulkan
secara umum apa yang ditulis oleh para penyusun kamus bahasa Arab bahwa arti “wahy” ini berkisar sekitar: “al-isharah al-sari’ah” (isyarat yang
cepat), “al-kitabah” (tulisan), “al-maktub” (tertulis), “al-risalah” (pesan), “al-ilham” (ilham), “al-i’lam al-khafi” (pemberitahuan yang bersifat tertutup dan tidak
diketahui pihak lain) “al-kalam al-khafi
al-sari’” (pembicaraan yang bersifat tertutup dan tidak diketahui pihak
lain dan cepat). Dengan demikian dapat dikatakan secara konklusif bahwa dalam
arti lughawinya, “wahy” adalah, sebagaimana disimpulkan
oleh Rashid Rida dalam al-wahy
al-Muhammadi, “pemberitahuan yang bersifat tertutup dan tidak diketahui
pihak lain dan cepat serta khas hanya kepada yang dituju” (Thoha, 2007: 1-2).
Kemudian
dari arti lughawi ini, para ulama
membangun definisi “wahy” secara teknis
(terminologis) atau istilah, yakni pemberitahuan Allah swt kepada seorang nabi tentang
berita-berita gaib, shari’at, dan
hukum tertentu. Dari definisi ini jelas bahwa konsep “wahy” dalam Islam harus mengandung dua unsur utamanya, yaitu (i)
pemberi berita (Alloh SWT) dan (ii) penerima berita (nabi), sehingga tidak
dimungkinan terjadinya wahyu tanpa keduanya atau menafikan salah satunya. Dari
sini jelas pula bahwa wahyu harus dibedakan dengan ilham yang memancar dari
akal tingkat tinggi, atau dari apa yang sering disebut-sebut para orientalis
(yang sebetulnya mengikuti kaum musyrik dan kafir pada zaman Nabi Muhammad SAW)
sebagai “daya imajinasi dan khayalan kreatif” (creative imagination), dan “kondisi kejiwaan tertentu dimana seseorang
seakan-akan melihat malaikat kemudian mendengar atau memahami sesuatu darinya,”
atau “al-wahy al-nafsi” yang sering
dituduhkan kepada Nabi Muhammad SAW, dulu maupun kini (Thoha, 2007: 2).
Wahyu juga
dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh via jalan khusus yang
hanya diperoleh sekelompok manusia tertentu (Yusufian, 2011: 11). Pendeknya
wahyu adalah segala bentuk ikhtiar pengetahuan yang tidak dapat diupayakan oleh
manusia pada umumnya, kecuali para nabi dan rosul.
Untuk
kepentingan diskusi mengenai akal dan wahyu, maka definisi wahyu yang akan
digunakan adalah definisi wahyu sebagai keseluruhan pengetahuan yang diperoleh
via jalan khusus.
B. Akal dan Wahyu dalam Skema Pro-Kontra
1.
Akal, Sarana atau Sumber ?
Satu ide pokok yang
penting diperhatikan dalam pembahasan tentang akal dan wahyu adalah
kategorisasi akal sebagai daya / sarana dan sebagai sumber. Adakalanya daya
akal digunakan untuk memahami Al-Qur’an dan Sunah, serta dianggap sebagai sarana mengenali ajaran-ajaran wahyu.
Namun tak jarang daya akal didudukan di bangku pengadilan dan dipersepsi
sebagai sumber khas untuk memproduksi
hukum syariat. Klaim akal sebagai sumber pengetahuan ditengarai muncul dari pola
pikir yang mentah dan dangkal. Penggunaan akal untuk mengakses sumber-sumber pengetahuan
(alam dan syariat) merupakan bukti bahwa akal hanyalah sarana, bukan sumber
(Yusufian,
2011: 36).
Namun
kritik atas akal sebagai sumber juga tidak begitu saja dapat langsung diterima
karena dua alasan berikut, yaitu (i) pada dua dimensinya sekaligus, entah
teoritis maupun praktis, akal secara inheren sudah mengetahui hal-hal badihi
atau aksioma yang bersifat apriori. Artinya, hal-hal itu sudah terinstalasi
dalam substansi manusia secara bawaan (fitrah) sebelum berinteraksi dengan alam
eksternal. Oleh karena itu dengan berlandaskan pada rangkaian pengetahuan
bawaannya, akal mampu memproduksi pengetahuan baru dan dengan demikian akan
tergolong sebagai sumber independen
dalam proses deduksi hukum keagamaan, (ii) pikiran manusia adakalanya menjelajahi
Al-Qur’an dan Sunah hingga menemukan hukum ilahi, adakalnya juga
menelaah pengetahuan lain, semisal alam, hingga memperoleh pengetahuan baru.
Pada kasus pertama akal hanya berupa sarana, sedangkan pada kasus kedua, selain
sarana akal juga tergolong sebagai salah satu sumber pengetahuan (Yusufian,
2011: 38).
Dalam
sejarah Islam, pertentangan antara akal dan wahyu berkali-kali mencuat, bahkan
hingga hari ini pertentangan tersebut masih saja sulit untuk didamaikan karena
masing-masing pihak seringkali mengambil posisi ekstrem terhadap yang lain.
Bahkan ada juga pihak yang sampai pada posisi mempertentangkan agama dengan
akal, suatu sikap yang sangat ekstrem.
Entah
karena propaganda zionis, orientalis, sekutu maupun mungkin karena kurangnya
pengetahuan akan sejarah Islam, pertentangan antara akal dan wahyu dalam sejarah
Islam seringkali mengambil bentuk konfrontatif, semisal kubu Mu’tazilah versus kubu Asy’ariyah serta kubu
filosof versus kubu Ahlul Hadits.
Jika
ditelaah secara sabar dan cermat, sebenarnya pertentangan antara akal dan wahyu
dalam sejarah Islam tidak sekonfrontatif sebagaimana propaganda para orientalis
dalam buku-buku mereka. Fakhr al-Din al-Razi (cendikiawan terkemuka salah
seorang tokoh Asy’ariyah) menyatakan pertentangan antara kubu Mu’tazilah versus kubu Asy’ariyah bukanlah pada
kemampuan akal karena kedua belah pihak sepakat akan kemampuan akal manusia
dalam menentukan baik dan buruk, yang menjadi titik perbedaan adalah apakah
ganjaran perbuatan baik atau buruk ditentukan oleh akal atau wahyu
(Shalahuddin, 2007:11). Jadi tidak benar jika dikatakan ada sekelompok kaum
muslimin yang anti-akal, menolak kemajuan.
Ibnu
Taimiyah (ulama terkemuka dari madzab Hambali) ketika mengkritik tajam logika
Aristotelian membuktikan bahwa beliau bukanlah seorang yang anti-akal karena
argumentasi yang dikemukakannya begitu
logis. Menurut Ibnu Taimiyah bila segenap Sahabat Rosululloh dianggap
kelompok yang paling tahu dan secara ilmu, amal, akal serta keimanan lebih baik
dari generasi setelahnya, maka bagaimana mungkin logika Yunani yang diimpor ke
dunia Islam beberapa abad setelah kemunculan Islam dapat diterima dan
mempelajarinya adalah sebagai kewajiban agama (taklif syar’i) ? (Yusufian, 2011: 144).
Begitupula
Ibnu Rusyd (filosof terkemuka madzab Peripatetik) sebenarnya tidak anti-wahyu.
Beliau justru menyatakan bahwa berpikir secara logis tidak akan sampai
menentang apa yang telah disampaikan agama, karena kebenaran tidak akan
menentang kebenaran, justru akan saling menyepakati dan memastikan. Menurut
Ibnu Rusyd untuk mengantisipasi kemungkinan argumentasi akal yang berpotensi
menentang agama, pada kasus-kasus penakwilan yang tak terelakan, bukti-buktinya
harus digali dari dalam agama. Oleh karena itu menurut beliau tidak semua teks
agama dapat / boleh ditakwil. Ibnu Rusyd juga memperingatkan kepada para
filosof untuk sebijak mungkin menyebarkan karya-karya filosofisnya agar tidak
disalah-mengertikan oleh masyarakat awam sehingga tidak merusak aqidah mereka
(Yusufian, 2011: 112). Jadi klaim para orientalis yang menyatakan bahwa filosof
Islam adalah kelompok liberal yang menyepelekan wahyu adalah keliru.
Memang ada
juga dalam sejarah Islam, sarjana yang mengambil posisi ekstrem dalam
permasalahan akal dan wahyu. Misalnya Zakaria Razi dan kaum Akhbariyah. Zakaria
Razi adalah filsuf dan dokter terkemuka asal Persia, Razi memang percaya pada
Tuhan Yang Maha Esa, namun dia menolak mentah-mentah wahyu dan kenabian. Ada
dua alasan yang diajukannya (i) akal manusia mampu memilah mana yang benar dan
bermanfaat serta mana yang keliru dan merugikan. Eksistensi Tuhan dapat
dibuktikan dengan akal dan kehidupan praktis manusia dapat dikonstruksikan
secara ideal tanpa memerlukan bantuan Nabi atau tuntunan risalah samawi. (ii)
setiap orang punya kemampuan memilah dan sensasi rasional yang sebangun. Dari
perspektif ini tak seorangpun mengungguli yang lain. Superioritas hanya mungkin
lewat belajar-mengajar. Oleh karena itu tidak diperlukan orang-orang khusus
yang konon menerima karunia istimewa sehingga dipercaya sebagai sumber hidayah.
Sebaliknya setiap orang mampu merancang sendiri kehidupan idealnya lewat
bantuan dan tuntunan akal (Yusufian, 2011: 58-59).
Berbeda
dengan Zakaria Razi sebagai rasionalis ekstrem, kaum Akhbariyah justru
beroposisi secara ekstrem terhadap akal. Kaum Akhbariyah lahir dari dalam
pemikiran Syi’ah dan tumbuh secara aktif dalam rangka menyerang pola piker kaum
Ushuli dan kalangan teolog. Salah seorang tokohnya Abul Hasan Nasyi secara
keras menolak apapun penilaian dan pemeriksaan terhadap kualitas sanad hadits
seraya menegaskan semua hadits sebagai kebenaran yang wajib diikuti. Tokohnya
yang lain Mulla Astarabadi bahkan lebih ekstrem lagi menyatakan bahwa untuk
memahami hukum-hukum teoritis agam, baik yang pokok maupun yang bukan, kita tak
punya cara lain kecuali mendengar dari Imam Muhammad Bagir dan Imam Shodiq.
Menyimpulkan hukum teoritis via al-Qur’an atau Sunah Nabi tidak diperkenankan
selama imam-imam Ahlul Bait tidak menyinggung hal itu (Yusufian, 2011:
168-181).
Pada
hakikatnya pembuktian atas validitas akal hanya dapat didududkan pada dua
kemungkinan yaitu jelas secara substantial dan tidak jelas secara substansial.
Cara-cara lainnya sukar dilaksanakan karena hanya akan menimbulkan absurditas
berupa taqaddum al-syay ala nafsihi (sesuatu
mendahului dirinya sendiri) dan berupa absurditas daur (Yusufian, 2011: 196).
2.
Substansi Wahyu
Hampir semua agama
besar di dunia, khususnya yang sering disebut “agama-agama semitik” (Yudaisime,
Kristianisme, dan Islam) yang memang disebabkan latar belakang sejarah dan nasab
yang sama, secara fundamental bertumpu pada wahyu dan nabi untuk menegaskan
eksistensinya baik secara ontologis maupun legalistik (Thoha, 2007: 1).
Bagi umat Islam,
beriman kepada Nabi Muhammad SAW merupakan bagian dari rukun iman (beriman
kepada para nabi) dan sekaligus rukun Islam (membaca dua kalimah syahadat).
Dengan tegas dikatakan, seseorang tidak akan dapat dikatakan sebagai mukmin
atau muslim jika ia tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW (Husaini, 2007: 1).
Oleh karena itu
wahyu memiliki kedudukan yang sentral dalam agama Islam, al-Baqillani (ulama
terkemuka dari madzab Asy’ariyah) menyatakan bahwa asal segala permaslahan yang
berkaitan dengan akidah adalah bersumber dari shari’at, maka apabila terjadi
pertentangan antara akal dan wahyu, tidaklah dibenarkan mengutamakan dalil aqli
atas naqli dalam menentukan permasalahan aqidah (Shalahuddin, 2007:5).
Bahkan
karena wahyu pula maka kedudukan Islam sebagai satu-satunya agama wahyu yang
otentik dan final dapat dibuktikan melalui dua indikator, yaitu (i) di antara
agama-agama yang ada, hanya Islam yang namanya secara khusus disebutkan dalam
Kitab Sucinya, (ii) soal nama dan konsep Tuhan. Kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia hanya mengakui satu Tuhan yaitu Alloh SWT. Lafaz “Alloh” dibaca
dengan bacaan yang tertentu. Kata “Alloh” tidak boleh sembarangan, tapi harus
sesuai dengan yang dicontohkan Rosululloh SAW, sebagaimana bacaan-bacaan ayat
dalam al-Qur’an (Husaini, 2007: 2-4).
C. Tradisi Keilmuan Islam
Setiap orang yang mempelajari sejarah Islam secara sabar dan
penuh kecermatan serta tidak menjadikan karya-karya orientalis sebagai rujukan
utama tentu akan menjumpai khazanah keilmuan Islam yang begitu kaya.
Secara historis tradisi intelektual Islam dimulai dari
pemahaman (tafaqquh) terhadap
al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, secara berturut-turut
ketika Nabi berada di Mekah maupun ketika beliau telah hijrah ke Madinah. Di
Mekah, Nabi menekankan pada beberapa prinsip dasar aqidah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah
konsep Tuhan, sedangkan di Madinah, Nabi mengembangkan prinsip-prinsip tersebut
menjadi konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks
kelahiran pandnagan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi di Mekah,
sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam
menghasilkan kerangka konsep keilmuan dalam pandangan hidup Islami terjadi di
Madinah (Zarkasyi, 2007: 2-3).
Selain itu usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa
istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih yang di derivasi dari kosa-kata
al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk diantaranya: 'ilm, fiqh, usul, ijtihad,
ijma', qiyas, 'aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin,wahy,
tafsir, ta'wil, 'alam, kalam, nutq, zann, haqq, batil, haqiqah, 'adam, wujud,
sabab, khalq, khulq,dahr, sarmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr,
ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin,iradah dan lain sebagainya
menyumbang pada lahirnya tradisi keilmuan Islam (Zarkasyi, [tanpa
tahun]: 16).
Ada banyak ilmuan muslim yang terkenal baik di negara Islam maupun
di negara non-Islam. Beberapa diantaranya, yaitu Khalid
Ibn Yazeed (w.701), Jabir Ibn Haiyan /Geber (w. 721) keduanya pakar Kimia,
al-Khawarizmi /Algorizm (w. 780) pakar Matematika dan astronomi, Ibn Ishaq
Al-Kindi /Alkindus (w.800) pakar falsafah, fisika dan optik, Hunain Ibn Is'haq
(w.808) pakar kedokteran dan penterjemah, Thabit Ibn Qurrah/Thebit (w.836),
pakar Astronomi dan mesin, Al-Battani /Albategnius (w.858), pakar astronomi dan
mathematika, Al-Razi /Rhazes (w.884) pakar kedokteran, optik dan kimia, Al-Farabi
/Al-Pharabius (w.870) pakar falsafah, Logika, sosiologi, sains dan musik,
Thabit Ibn Qurrah (w.908) pakar kedokteran dan mesin, Ibn Al-Haitham /Alhazen
(w.965) pakar fisika, optik dan matematika, Abu Raihan Al-Biruni (w.973 ) pakar
Astronomy dan Mathematika, Ibn Sina / Avicenna (w. 980) pakar kedokteran,
filsafat dan matematika, Al-Zarqali / Arzachel(w. 1029) pakar Astronomy (penemu
Astrolabe), Omar Al-Khayyam (w. 1044 ) pakar Mathematika dan penyair, Ibn Zuhr
/Avenzoar (w. 1090) pakar bedah dan kedokteran, Ibn Bajah Mohammad Ibn Yahya
/Avenpace (w. 1095 ) pakar filsafat dan kedokteran, Ibn Rushd /Averroes (w.
1128) pakar Fikih, filsafat dan kedokteran Abdel-al Rahman AlKhazin (w. 1155)
pakar Astronomi, Nasir Al-Din Al-Tusi (w. 1201) pakar Astronomy, Geometri
Non-Euclidean (Zarkasyi, 2007: 13-14).
Intitusionalisasi ilmu dalam sejarah Islam bermula dari
masjid-masjid kemudian meluas hingga pendirian akademi, perpustakaan hingga
biro penterjemahan (Zarkasyi, 2007: 12). Jadi tradisi keilmuan Islam tak
bisa diragukan lagi karena merupakan fakta sejarah.
Selain pentingnya ilmu, para ulama kita juga memadukan ilmu dengan
amal, fikir dan zikir, akal dan hati. Kondisi tersebut tampak jelas dalam
contoh kehidupan para ulama kita, seperti Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam
Bukhari. Al-Hakam bin Hisyam al-Tsaqafi mengatakan: “Orang menceritakan
kepadaku di negeri Syam, suatu cerita tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah
seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi
pemegang kunci gudang kekayaan Negara atau memukulnya kalau menolak. Maka Abu
Hanifah memilih siksaan daripada siksaan Allah Ta’ala.” AlRabi mengatakan:
“Imam Syafi‘i menghkatamkan al-Qur’an misalnya, dalam bulan Ramadhan, enam
puluh kali. Semuanya itu dalam shalat. Imam Bukhari menyatakan Aku tidak
menulis hadist dalam kitab Sahih kecuali aku telah mandi sebelum itu dan telah
shalat dua rakaat (Armas, 2007: 4).
Bukan saja dalam ilmu-ilmu agama, ulama kita yang berwibawa telah mewariskan
kita berbagai karya yang sehingga kini masih selalu kita rasakan manfaatnya. Dalam
bidang ilmu pengetahuan umum pun, para pemikir Muslim terdahulu sangat berperan.
Al-Khawarizmi, Bapak matematika, misalnya, dengan gagasan aljabarnya telah sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu matematika. Tanpa pemikiran al-Khawarizmi, tanpa
sumbangan angkaangka Arab, maka sistem penulisan dalam matematika merupakan
sebuah kesulitan. Sebelum memakai angkaangka Arab, dunia Barat bersandar kepada
sistem angka Romawi. Bilangan 3838, misalnya, jika ditulis dengan sistem
desimal atau angka Arab, hanya membutuhkan empat angka. Namun, jika ditulis dengan
angka Romawi, maka dibutuhkan tiga belas angka, yaitu MMMDCCCXLVIII. Demikian
juga ketika dalam bentuk perkalian. 34 kali 35 akan lebih mudah mengalikannya
jika dibanding dengan XXXIV dan XXXV. Terbayang oleh kita betapa rumit, dan
berteletelenya sistem penulisan angka Romawi. Menarik untuk dicermati, al-Khawarizmi
menulis karyanya dalam bidang matematika karena didorong oleh motivasi agama
untuk menyelesaikan persoalan hukum warisan dan hukum jualbeli. Selain itu,
masih banyak lagi pemikir Muslim yang sangat berperan dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Salah seorang diantaranya adalah Ibn Sina. Ketika baru berusia 21
tahun, beliau telah menulis al-Hasil wa al-Mahsul yang terdiri dari 20 jilid.
Selain itu, beliau juga telah menulis al-Shifa (Penyembuhan), 18 jilid; al-Qanun
fi al-Tibb (KaidahKaidah dalam Kedokteran), 14 jilid; Al-Insaf (Pertimbangan),
20 jilid; al-Najat (Penyelamatan), 3 jilid; dan Lisan al’ Arab (Bahasa
Arab), 10 jilid. Karyanya al-Qanun fi al-Tibb telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin di Toledo Spanyol pada abad ke12. Buku al-Qanun fi al-Tibb
dijadikan buku teks rujukan utama di universitas-universitas Eropa sampai
abad ke17 (Armas, 2007: 4-5).
Kemajuan yang telah diraih oleh orang-orang Islam. Jadi,
kegemilangan Barat saat ini tidak terlepas daripada sumbangan pemikiran kaum Muslimin
pada saat itu. Hal ini telah diakui oleh para sarjana Barat. Selain itu, para
ulama kita dahulu menguasai beragam ilmu. Fakhruddin al-Razi (11491210), misalnya,
menguasai al-Qur’an, al-Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab, perbandingan
agama, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Bukan hanya alQur’an dan
alHadits yang dihafal, bahkan beberapa buku yang sangat penting dalam bidang
usul fikih seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam alHaramain al-Juwayni,
al-Mu‘ tamad karya Abu al-Husain al-Basri dan al-Mustasfa karya
alGhazali, telah dihafal oleh Fakhruddin al-Razi (Armas, 2007: 5-6).
D. Membangun Peradaban Islam Melalui
Islamisasi Ilmu
Terdapat empat faktor penting mengapa peradaban Islam berkembang
pesat di masa lalu. Keempat faktor itu adalah kekuasaan, ekonomi, stabilitas
politik dan sarana pengembangan ilmu (lembaga penelitian dan pendidikan). Namun
jika kita lihat secara kronologis kekuatan Islam tidak dimulai dari kekuasaan,
tapi justru dari kekuatan konsep dari agama Islam itu sendiri. Karena kekuatan
konsep al-Qur’an maka sebuah komunitas ulama dengan tradisi intelektual dan
moralnya terbentuk secara alami. Komunitas inilah kemudian yang dapat menggalang
komunitas yang lebih besar lagi sehingga menjadi sebuah institusi. Institusi negara
yang pertama kali terbentuk adalah Madinah dan institusi pendidikan yang kemudian
terbentuk adalah al-Suffah. Dari kedua institusi inilah berbagai
kegiatan keilmuan, sosial, politik dan lain-lain semakin luas dan besar,
sehingga ummat Islam dapat mengembangkan sayapnya keluar dari jazirah Arab (Zarkasyi,
2007: 6).
Kini tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin adalah lmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah
diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarnya berasal
dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern
harus diislamkan (Armas, 2007: 9-10).
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan
antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode
ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme,
idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses
dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan
mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai realitas
akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan
kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta. Wahyu merupakan
dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah
sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang
rasionalisme dan empirissme (Armas, 2007: 7-8).
Syed
Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas
visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5
faktor: (1) akal diandalkan untuk
membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan
kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup
sekular; 19 (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi
sebagai unsurunsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan (Armas,
2007: 7). Oleh karena itu solusinya adalah (i) mengisoliir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (unsur yang telah
disebutkan sebelumnya), dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini,
khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam,
fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta
dan dalam formulasi teori-teori. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika
tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar.
Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup
metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris
dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran
historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan
dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta,
klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya
dengan sosial harus diperiksa dengan teliti, (ii) memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan (Armas, 2007: 10).
Pembebasan
manusia Muslim dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis dan kultur kebangsaan
yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler
terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang
cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat kemanusiaannya yang
benar pada mulanya bergantung pada ilmu pengetahuan (scientific knowledge)
tapi pada akhirnya memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan pandangan hidup
Islam yang tercermin di dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat-pendapat para
ulama terdahulu yang secara ijma dianggap sahih. Paradigma
dimaksud dapat dengan mudah dikenali melalu klasifikasi ilmu Iman al-Ghazzali
yang disebut ilmu fard ‘ain. Sedangkan pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) yang dimaksud diatas adalah ilmu fard kifayah. Ilmu Fardu
‘ain tidaklah statis, dan tidak terbatas pada pengetahuan asas tentang
pokok-pokok ajaran Islam yang diajarkan pada tingkat pendidikan rendah dan
menengah. Ia adalah dinamis: ia meningkat sesuai dengan kemampuan spiritual dan
intelektual serta tanggung jawab sosial dan professional orang yang
bersangkutan (Zarkasyi, 2007: 16-17). Wallahu a’lam.
E. Referensi
Armas, Adian,
2007, Konsep Ilmu dalam Islam, Serial
Seminar INSISTS, Gedung Gema Insani Depok, 29 September 2007
Husaini,
Adian, 2007, Konsep Islam sebagai Agama
Wahyu, Depok, 3 April 2007
Shalahuddin,
Henri, 2007, Akal dan Posisinya dalam
Islam: Kritik terhadap Rasionalisme Mu’tazolah versi Pror. Dr. Harun Nasution,
Diskusi Sabtuan, Kantor INSISTS Jakarta, 28 April 2007
Thoha, Anis Malik,
2007, Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam,
Kuliah Peradaban Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, 2-3 Juni 2007
Yusufian, Hasan,
Sharifi, Ahmad Husain, 2011, Akal dan
Wahyu, Sadra Press, Jakarta
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, [tanpa tahun], Pandangan Hidup dan
Tradisi Intelektual Islam, [tanpa prosiding
seminar], [tanpa nama kota], [tanpa tanggal seminar]
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, 2007, Membangun Peradaban Islam
dengan Ilmu Pengetahuan, Kuliah Umum Program Pasca Sarjana Bidang
Pendidikan Islam, Kampus Universitas Ibnu Khaldun Bogor, 11 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar