Perspektif Islam Tentang Pendidikan
“Kaum Muslimin
dikalahkan, dibantai; negeri dan kekayaannya dirampas, demikian juga kehidupan
dan harapannya. Mereka ditipu, dijajah dan diperas, ditarik dan dipaksa atau
melalui penyuapan untuk masuk ke dalam agama-agama lain. Dan mereka
disekulerkan, di Baratkan, dan di de-islamisasikan oleh agen-agen musuh mereka
di dalam dan di luar diri mereka… pada hari ini mereka mempunyai “citra” yang
sangat buruk. Dan pada saat ini ummat berada pada tingkat terendah dibanding
negara-negara yang ada.” (Isma’il Raji
al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General
Principles and Workplan)
A. Latar Belakang
Krisis
yang dialami Umat Islam saat ini tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik,
atau teknologi. Umat Islam hari ini dihinggapi krisis intelektualisme atau
pemikiran. Maka keberhasilan apa pun dan dalam bidang apa pun yang dilakukan
hanya akan bersifat sementara dan tidak akan langgeng selama aspek pemikiran
masyarakatnya belum diperbaharui. Jika pemikiran adalah produk pendidikan, dan
pemikiran itu saat ini mengalami kemandekan, maka jelaslah bahwa ada yang salah
dalam sistem pendidikan kita.
Kemandekan intelektual ini tentu menimbulkan tanda tanya
besar: apa sesungguhnya yang menyebabkan vitalitas intelektual Islam yang sejak
dini bergeliat dengan sedemikian gesit, menjadi tiba-tiba kehilangan rentaknya ?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, patutlah kiranya kita
mencermati lagi tradisi keilmuan Islam yang selama berabad-abad telah
ditumbuh-suburkan oleh para ulama dan cendikiawan muslim. Kita perlu mencermati
kembali tentang tujuan pendidikan dan metode pendidikan yang selama ini
dipraktikan apakah telah sesuai atau tidak lagi sesuai dengan konsepsi Islam.
B.
Definisi
dan Tujuan Pendidikan
1. Definisi Pendidikan
Istilah pendidikan dalam Al
Qur’an dapat ditemukan pada akar dari dua kata, yaitu rababa dan rabâ. Dari akar kata rababa lahir kata rabb. Kata ini biasa diartikan
secara sederhana dengan kata Tuhan. Tetapi jika melihat makna semantiknya dalam
bahasa Arab, kata rabb dan yang seakar dengannya
memiliki cakupan makna yang sangat luas, antara lain memiliki, menguasai, mengatur,
memelihara, memberi nikmat dan mengawasi. Semua kata rabb di Al
Qur‘an berarti
Tuhan yang memiliki sifat-sifat seperti di atas, dan tentu lebih dari itu
semua, kecuali hanya di beberapa tempat yang bermakna tuan/ majikan, raja dan
seseorang yang memberi nikmat, yaitu pada Qur’an Surat Yusuf : 23, 41, 42 dan
50.
Kata rabâ dalam bahasa Arab berarti tumbuh, bertambah dan berkembang. Dari
kata ini lahir kata rabbâ, yurabbî, tarbiyah yang biasa diartikan dengan mendidik dan pendidikan. Fakultas yang
membidangi pendidikan di perguruan tinggi Islam disebut tarbiyah. Menurut
sebagian pakar, kata tarbiyah berasal dari kata rabbaba, kemudian untuk meringankan pengucapan (takhfîf), huruf ba yang terakhir diganti dengan
huruf ya. Hujan dinamakan rabâb karena ia menumbuhkan dan menjaga kelangsungan hidup
tumbuh-tumbuhan. Dalam Alquran tidak ditemukan
kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu
antara lain; ar-rabb, rabbayânî (QS. Al-Isra : 24), nurabbika (QS.
Al-Syu`ara : 18), rabbâniyyîn (QS. Âl Imran : 79). Semua fonem
tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam bahasa Arab, istilah
“tujuan” berpadanan dengan kata maqoshid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini merupakan kata
jadian dari qoshada yang tersebar dalam al-Qur’an
yang memberi arti pokok. Berdasarkan istilah tersebut di atas, maka tujuan pendidikan (maqoshid al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada
tujuan umum (aims) yang mengarah kepada tujuan
akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam
bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia. Manusia dalam al-Qur’an
menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh Alloh SWT
sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan
fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya.
Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia
merupakan pilihan Maha Pencipta untuk menguasai jagat raya ini. Untuk
menjadikan manusia terbaik itu, maka Alloh SWT sendirilah sebagai “pendidik”
secara langsung kepada manusia pertama, yaitu Nabiyulloh Adam ‘Alaihissalam.
Sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah, Ayat 30.
Pendidikan Islam harus
diselenggarakan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk dan membina
karakter manusia supaya menjadi insan kamil yang beriman, bertakwa dan
berakhlak kepada Alloh SWT berdasarkan fitrah yang dibawanya sejak lahir. Fitrah yang dibawa manusia sejak dalam
kandungan merupakan perwujudkan komitmen antara manusia sebagai makhluk dan Alloh
SWT sebagai Tuhannya. Komitmen yang sudah terbentuk itu harus diperkuat agar
manusia tetap lurus mentaati perintah Alloh SWT. Sebagaimana Alloh SWT berfirman
dalam al-Qur’an, Surat al-Rum, Ayat 30.
Dari uraian tersebut tampak bahwa
pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang
sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan dalam pandangan Al
Qur’an.
C.
Metode
Pendidikan
1. Hierarki Ilmu
Para ulama umumnya sepakat bahwa ada
ilmu yang fardhu bagi
setiap Muslim (fardhu ‘ain) dan
ada yang fardhu bagi
sebagian Muslim (fardhu kifayah).
Disebut fardhu karena jika ilmu ini
tidak diketahui maka individu muslim (di dalam fardhu ‘ain) atau
segolongan muslim (di dalam fardhu kifayah) terancam mendapat dosa dan murka Alloh
SWT.
Lebih rinci, al-Ghazali membuat bagan hierarki ilmu sebagai
berikut:
a.
Ilmu
syariah, yaitu ilmu yang berasal dari para Nabi dan Rosul yang tidak diperoleh
melalui perantaraan akal (seperti berhitung), atau melalui percobaan (seperti
kedokteran), atau juga melalui pendengaran (seperti bahasa). Semua ilmu syariah
merupakan ilmu terpuji. Terpuji di sini dapat diartikan sebagai ilmu yang dapat
memberikan kebaikan (bermanfaat) baik bagi yang mempelajarinya maupun orang
lain. Ilmu syariah dibagi lagi dalam dua kelompok :
1)
Fardhu
‘ain,
yaitu ilmu yang wajib bagi setiap Muslim
2)
Fardhu
kifayah,
yaitu ilmu yang wajib bagi sebagian Muslim
b.
Ilmu
bukan-syariah, yaitu semua ilmu yang di luar pengertian ilmu syariah. Ilmu ini
dapat digolongkan lagi menjadi:
1)
Terpuji.
Ilmu ini terbagi lagi dalam dua kelompok
§
yaitu
ilmu fardhu kifayah
§
ilmu
utama, yaitu ilmu yang bukan fardhu
tetapi bermanfaat untuk melengkapi atau menyempurnakan ilmu-ilmu fardhu.
Contohnya, detail-detail ilmu kedokteran atau matematika.
2)
Mubah,
yaitu ilmu yang dalam tinjauan agama tidak membawa kebaikan maupun keburukan
bagi yang mempelajarinya atau orang lain. Contohnya ilmu puisi atau ilmu
sejarah.
3)
Tercela,
yaitu ilmu yang membawa keburukan bagi yang mempelajarinya atau orang lain.
Contohnya adalah ilmu sihir.
Pengelompokan di atas bukan hanya
sekedar klasifikasi tetapi juga menunjukkan derajat kedudukan ilmu yang satu
terhadap ilmu yang lain. Dengan demikian, berdasarkan bagan hierarki ilmu
tersebut, ilmu fardhu ‘ain lebih
tinggi dari fardhu kifayah. Begitu juga ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu syariah lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu bukan-syariah.
2. Tahapan dalam Belajar
Konsep pendidikan Islam adalah konsep
yang mengedepankan kasih sayang. Para pendidik harus mampu memahami karakter
masing-masing peserta didiknya, terutama memahami tingkat kemampuan berfikir
(penalaran) masing-masing peserta didik agar dapat memberikan arahan yang tidak
memberatkan bagi para peserta didik. Oleh karena itu tahapan belajar yang baik
adalah sebagai berikut:
a.
Proses
pendidikan dimulai dari mempelajari yang paling penting bagi murid. Ilmu yang
paling penting adalah ilmu fardhu ‘ain. Ilmu fardhu ‘ain adalah
prioritas pertama setiap pelajar. al-Ghazali mencela orang yang menyibukkan
diri dengan ilmu fardhu kifayah tetapi melupakan ilmu fardhu
‘ain.
b.
Dimulai
dari yang paling mudah karena memulai belajar dari yang paling mudah memberikan
semangat dan menghindarkan diri dari rasa putus asa. Oleh karena itu dalam
mendidik guru hendaknya menyesuaikan penyampaian pelajaran sesuai dengan
kecerdasan atau daya tangkap murid. Al-Ghazali melarang seorang guru memaksakan
suatu pelajaran yang tidak bisa dicapai atau belum siap diterima oleh muridnya.
c.
Mengikuti
urutan ilmu karena ilmu itu memiliki urutan, dalam pengertian suatu ilmu baru
bisa dipahami jika sudah dikuasai ilmu yang lain, atau kita sebut dengan ilmu
prasyarat. Dalam kasus-kasus tertentu, untuk memahami suatu ilmu seseorang
harus memahami dulu ilmu prasyarat.
D. Pendidikan sebagai Benteng Keimanan
Dalam Islam, iman tanpa dasar ilmu
alias taqlid dinyatakan tidak sah. Seorang yang
mengaku mukmin wajib memiliki dalil, bukti atau argumentasi, meskipun itu ijmali (dalil global tidak detail), atas
klaim keimanannya. Dengan demikian, kesaksian akan keesaan Alloh SWT dan Nabi
Muhammad SAW sebagai Rosululloh seperti yang tersimpul dalam kalimah syahadatayn bukanlah
pengakuan lisan tanpa alasan, ucapan tanpa landasan; syahadah dalam perspektif
Islam adalah kesaksian yang berkonotasi pada ilmu yang berdasarkan bukti. Oleh
karena itu ilmu dan lebih luas lagi, pendidikan merupakan benteng keimanan yang
harus terus-menerus ditegakan. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar