Jumat, 19 Oktober 2012

Buletin Gerbang Muhlisin Edisi I, 30 Dzulhijjah 1433 H


Perspektif Islam Tentang Pendidikan

“Kaum Muslimin dikalahkan, dibantai; negeri dan kekayaannya dirampas, demikian juga kehidupan dan harapannya. Mereka ditipu, dijajah dan diperas, ditarik dan dipaksa atau melalui penyuapan untuk masuk ke dalam agama-agama lain. Dan mereka disekulerkan, di Baratkan, dan di de-islamisasikan oleh agen-agen musuh mereka di dalam dan di luar diri mereka… pada hari ini mereka mempunyai “citra” yang sangat buruk. Dan pada saat ini ummat berada pada tingkat terendah dibanding negara-negara yang ada.” (Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan)

A.      Latar Belakang
Krisis yang dialami Umat Islam saat ini tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik, atau teknologi. Umat Islam hari ini dihinggapi krisis intelektualisme atau pemikiran. Maka keberhasilan apa pun dan dalam bidang apa pun yang dilakukan hanya akan bersifat sementara dan tidak akan langgeng selama aspek pemikiran masyarakatnya belum diperbaharui. Jika pemikiran adalah produk pendidikan, dan pemikiran itu saat ini mengalami kemandekan, maka jelaslah bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.
Kemandekan intelektual ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apa sesungguhnya yang menyebabkan vitalitas intelektual Islam yang sejak dini bergeliat dengan sedemikian gesit, menjadi tiba-tiba kehilangan rentaknya ?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, patutlah kiranya kita mencermati lagi tradisi keilmuan Islam yang selama berabad-abad telah ditumbuh-suburkan oleh para ulama dan cendikiawan muslim. Kita perlu mencermati kembali tentang tujuan pendidikan dan metode pendidikan yang selama ini dipraktikan apakah telah sesuai atau tidak lagi sesuai dengan konsepsi Islam.


B.      Definisi dan Tujuan Pendidikan

1.       Definisi Pendidikan
Istilah pendidikan dalam Al Qur’an dapat ditemukan pada akar dari dua kata, yaitu rababa dan rabâ. Dari akar kata rababa lahir kata rabb. Kata ini biasa diartikan secara sederhana dengan kata Tuhan. Tetapi jika melihat makna semantiknya dalam bahasa Arab, kata rabb dan yang seakar dengannya memiliki cakupan makna yang sangat luas, antara lain memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi nikmat dan mengawasi. Semua kata rabb di Al Qur‘an berarti Tuhan yang memiliki sifat-sifat seperti di atas, dan tentu lebih dari itu semua, kecuali hanya di beberapa tempat yang bermakna tuan/ majikan, raja dan seseorang yang memberi nikmat, yaitu pada Qur’an Surat Yusuf : 23, 41, 42 dan 50. 
Kata rabâ dalam bahasa Arab berarti tumbuh, bertambah dan berkembang. Dari kata ini lahir kata rabbâ, yurabbî, tarbiyah yang biasa diartikan dengan mendidik dan pendidikan. Fakultas yang membidangi pendidikan di perguruan tinggi Islam disebut tarbiyah. Menurut sebagian pakar, kata tarbiyah berasal dari kata rabbaba, kemudian untuk meringankan pengucapan (takhfîf), huruf ba yang terakhir diganti dengan huruf ya. Hujan dinamakan rabâb karena ia menumbuhkan dan menjaga kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan. Dalam Alquran tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu antara lain; ar-rabb, rabbayânî (QS. Al-Isra : 24), nurabbika (QS. Al-Syu`ara : 18), rabbâniyyîn (QS. Âl Imran : 79). Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.


2.       Tujuan Pendidikan
Dalam bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan dengan kata maqoshid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini merupakan kata jadian dari qoshada yang tersebar dalam al-Qur’an yang memberi arti pokok. Berdasarkan istilah tersebut di atas, maka tujuan pendidikan (maqoshid  al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan umum (aims) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia.  Manusia dalam al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh Alloh SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya. 
Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia merupakan pilihan Maha Pencipta untuk menguasai jagat raya ini. Untuk menjadikan manusia terbaik itu, maka Alloh SWT sendirilah sebagai “pendidik” secara langsung kepada manusia pertama, yaitu Nabiyulloh Adam ‘Alaihissalam. Sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah, Ayat 30.
Pendidikan Islam harus diselenggarakan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk dan membina karakter manusia supaya menjadi insan kamil yang beriman, bertakwa dan berakhlak kepada Alloh SWT berdasarkan fitrah yang dibawanya sejak lahir. Fitrah yang dibawa manusia sejak dalam kandungan merupakan perwujudkan komitmen antara manusia sebagai makhluk dan Alloh SWT sebagai Tuhannya. Komitmen yang sudah terbentuk itu harus diperkuat agar manusia tetap lurus mentaati perintah Alloh SWT. Sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Rum, Ayat 30. 
Dari uraian tersebut tampak bahwa pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan dalam pandangan Al Qur’an.


C.      Metode Pendidikan

1.       Hierarki Ilmu
Para ulama umumnya sepakat bahwa ada ilmu yang fardhu bagi setiap Muslim (fardhu ‘ain) dan ada yang fardhu bagi sebagian Muslim (fardhu kifayah). Disebut fardhu karena jika ilmu ini tidak diketahui maka individu muslim (di dalam fardhu ‘ain) atau segolongan muslim (di dalam fardhu kifayah) terancam mendapat dosa dan murka Alloh SWT.

Lebih rinci, al-Ghazali membuat bagan hierarki ilmu sebagai berikut:
a.       Ilmu syariah, yaitu ilmu yang berasal dari para Nabi dan Rosul yang tidak diperoleh melalui perantaraan akal (seperti berhitung), atau melalui percobaan (seperti kedokteran), atau juga melalui pendengaran (seperti bahasa). Semua ilmu syariah merupakan ilmu terpuji. Terpuji di sini dapat diartikan sebagai ilmu yang dapat memberikan kebaikan (bermanfaat) baik bagi yang mempelajarinya maupun orang lain. Ilmu syariah dibagi lagi dalam dua kelompok :
1)      Fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib bagi setiap Muslim
2)      Fardhu kifayah, yaitu ilmu yang wajib bagi sebagian Muslim
b.      Ilmu bukan-syariah, yaitu semua ilmu yang di luar pengertian ilmu syariah. Ilmu ini dapat digolongkan lagi menjadi:
1)      Terpuji. Ilmu ini terbagi lagi dalam dua kelompok
§  yaitu ilmu fardhu kifayah
§  ilmu utama, yaitu ilmu yang bukan fardhu tetapi bermanfaat untuk melengkapi atau menyempurnakan ilmu-ilmu fardhu. Contohnya, detail-detail ilmu kedokteran atau matematika.
2)      Mubah, yaitu ilmu yang dalam tinjauan agama tidak membawa kebaikan maupun keburukan bagi yang mempelajarinya atau orang lain. Contohnya ilmu puisi atau ilmu sejarah.
3)      Tercela, yaitu ilmu yang membawa keburukan bagi yang mempelajarinya atau orang lain. Contohnya adalah ilmu sihir.

Pengelompokan di atas bukan hanya sekedar klasifikasi tetapi juga menunjukkan derajat kedudukan ilmu yang satu terhadap ilmu yang lain. Dengan demikian, berdasarkan bagan hierarki ilmu tersebut, ilmu fardhu ‘ain lebih tinggi dari fardhu kifayah. Begitu juga ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu syariah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu bukan-syariah.

2.       Tahapan dalam Belajar
Konsep pendidikan Islam adalah konsep yang mengedepankan kasih sayang. Para pendidik harus mampu memahami karakter masing-masing peserta didiknya, terutama memahami tingkat kemampuan berfikir (penalaran) masing-masing peserta didik agar dapat memberikan arahan yang tidak memberatkan bagi para peserta didik. Oleh karena itu tahapan belajar yang baik adalah sebagai berikut:
a.       Proses pendidikan dimulai dari mempelajari yang paling penting bagi murid. Ilmu yang paling penting adalah ilmu fardhu ‘ain. Ilmu fardhu ‘ain adalah prioritas pertama setiap pelajar. al-Ghazali mencela orang yang menyibukkan diri dengan ilmu fardhu kifayah tetapi melupakan ilmu fardhu ‘ain.
b.      Dimulai dari yang paling mudah karena memulai belajar dari yang paling mudah memberikan semangat dan menghindarkan diri dari rasa putus asa. Oleh karena itu dalam mendidik guru hendaknya menyesuaikan penyampaian pelajaran sesuai dengan kecerdasan atau daya tangkap murid. Al-Ghazali melarang seorang guru memaksakan suatu pelajaran yang tidak bisa dicapai atau belum siap diterima oleh muridnya.
c.       Mengikuti urutan ilmu karena ilmu itu memiliki urutan, dalam pengertian suatu ilmu baru bisa dipahami jika sudah dikuasai ilmu yang lain, atau kita sebut dengan ilmu prasyarat. Dalam kasus-kasus tertentu, untuk memahami suatu ilmu seseorang harus memahami dulu ilmu prasyarat.

D.      Pendidikan sebagai Benteng Keimanan
Dalam Islam, iman tanpa dasar ilmu alias taqlid dinyatakan tidak sah. Seorang yang mengaku mukmin wajib memiliki dalil, bukti atau argumentasi, meskipun itu ijmali (dalil global tidak detail), atas klaim keimanannya. Dengan demikian, kesaksian akan keesaan Alloh SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rosululloh seperti yang tersimpul dalam kalimah syahadatayn bukanlah pengakuan lisan tanpa alasan, ucapan tanpa landasan; syahadah dalam perspektif Islam adalah kesaksian yang berkonotasi pada ilmu yang berdasarkan bukti. Oleh karena itu ilmu dan lebih luas lagi, pendidikan merupakan benteng keimanan yang harus terus-menerus ditegakan. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar