Kamis, 29 November 2012

Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 7, 16 Muharrom 1434 H / 30 November 2012

Insan Adabi

“Human capital development in Islam is centrally rooted in education, whose purpose is not merely to produce a good citizen, nor a good worker, but a good man.” Terjemahan bebas: “Pengembangan daya-hidup manusia menurut ajaran Islam pada dasarnya bermula dari pendidikan, yang tujuannya bukan hanya menghasilkan abdi negara yang baik, maupun pekerja yang baik, namun manusia yang baik.” [Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Dewesternization and Islamization: Their Epistemic Framework and Final Purpose, 2009: 9].

A. Latar Belakang

Kalangan muda Muslim kini terlihat seolah-olah tidak mengetahui model manusia ideal menurut ajaran Islam. Mereka terjebak pada budaya populer yang menjanjikan kemasyuran dan kehidupan bergelimangan harta-benda. 

Banyak kalangan muda Muslim yang terjerat dengan tipu-daya dan hasutan media massa. Mereka mengidolakan figur-figur yang menurut ajaran Islam bukanlah merupakan suri tauladan yang baik. Seorang penyanyi yang merupakan pelaku perzinahan dijadikan idola, kelompok penyanyi perempuan yang gemar mengumbar aurat dijadikan idola, bahkan lelaki yang bertingkah seperti perempuan (waria) pun dijadikan idola.

Dunia yang ditinggali kalangan muda Muslim kini adalah dunia yang tidak akrab dengan ajaran Islam, maka wajar jika kalangan muda Muslim jauh dari nilai-nilai Islami. Mereka haruslah diperkenalkan kembali dengan ajaran-ajaran luhur Islam, salah satunya adalah konsepsi Islam tentang insan adabi.

B. Insan Adabi

Adab merupakan konsep yang penting dalam ajaran Islam tentang pendidikan. Definisi adab adalah pengakuan dan pemahaman akan kenyataan bahwa pengetahuan (‘ilm) dan segala ciptaan berada pada susunan bertingkat dan memiliki kedudukan tertentu, baik dalam kapasitas fisik, intelektual, spiritual, maupun potensinya. Oleh karena itu insan adabi adalah manusia yang menyadari dan melaksanakan tanggungjawabnya sebagai manusia di hadapan Tuhan, tanggungjawabnya pada diri sendiri, dan tanggungjawabnya pada manusia lain secara adil serta terus-menerus berusaha mengembangkan diri menuju pada kesempurnaan adab.

Insan adabi bukan sekedar manusia yang pandai bersopan-santun dan konsep adab tidak sama dengan sopan-santun. Konsep adab lebih luas dan lebih mendalam dari konsep sopan-santun. Jika adab hanya dimaknai sebagai sopan-santun, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan Nabi Ibrohim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (Qur’an Surat Al-An’aam [6]: Ayat 74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan-santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab.

Adab menekankan pengakuan atas struktur realitas. Konsep struktur dalam ajaran Islam sangat penting karena dapat menghindarkan manusia dari kekacauan pengetahuan (confusion of knowledge), keruntuhan adab (loss of adab) dan munculnya pemimpin yang tidak cakap serta jahat (rise of unqualified and false leader). Konsep adab pada dasarnya merumuskan apa yang utama dan apa yang mesti didahulukan. Jadi sama sekali tidak terkait dengan rasisme maupun diskriminasi. Dari aspek pengetahuan, konsep adab menghasilkan pembagian pengetahuan menjadi ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib dikuasai oleh setiap muslim (seperti tata cara ibadah yang benar dan cara membaca Qur’an yang benar), sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang harus dipelajari umat muslim ketika yang bersangkutan telah menguasai secara tuntas dan benar ilmu fardhu ‘ain (seperti ilmu ekonomi, kimia, fisika, biologi, metematika, dan ilmu-ilmu praktis lainnya untuk menunjang aktivitas kehidupan). Dari aspek hubungan antar sesama manusia, konsep adab melahirkan semangat kesetaraan yang adil. Dalam Qur’an dinyatakan, “Adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Qur’an Surat Al-Maa’idah [5]: Ayat 8). Berdasarkan konsep adab, pengakuan akan keluhuran manusia tidak hanya dinilai dari kriteria seperti jabatan, kekayaan dan garis keturunan, namun pada seberapa mampu manusia yang bersangkutan dapat menempatkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya yang layak (berlaku adil).

C. Pendidikan untuk Membentuk Insan Adabi

Konsep ta’dib jika dipahami secara memadai dan diterapkan secara layak merupakan konsepsi Islam tentang pendidikan yang lebih tepat daripada ta’lim maupun tarbiyah. Konsep ta’dib merangkum struktur konsep dari elemen-elemen pengetahuan (‘ilm), pengarahan (ta’lim) dan pembinaan (tarbiyah). 

Ta’dib secara konseptual memadukan antara pengetahuan yang benar (ilmu) dengan tindakan yang layak (amal) dengan berdasarkan pada struktur realitas menurut ajaran Islam. Pengetahuan manusia akan struktur realitas pada dasarnya bukanlah merupakan pengetahuan yang sama sekali baru, karena Alloh SWT sebelumnya telah mengajarkannya kepada manusia, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda).” (Qur’an Surat Al-Baqoroh [2]: Ayat 31). Namun karena ketidakperdulian dan arogansi manusia, mereka mengingkari akan ajaran-ajaran Ilahi tersebut sehingga melahirkan kekacauan dalam memahami fenomena dan hakikat kehidupan. Yang benar dianggap salah, yang salah dianggap benar. Yang sepele diutamakan, yang utama disepelakan. 

Strategi Barat untuk mengendalikan dan menguasai umat Islam adalah dengan merusak konsep struktur realitas dalam ajaran Islam. Tanpa adanya struktur, maka Tuhan tidak lagi penting, wahyu tak lagi penting, bahkan agama tak lagi penting karena segala hal dianggap sama, sejajar, tak memiliki keutamaan. Konsep ta’dib yang menekankan pada kesadaran akan adanya struktur realitas jika dipahami secara memadai dan dilaksanakan secara layak mampu menghalau serta memperlemah pengaruh jahat pemikiran dan kebudayaan Barat. Wallohu a’lam.[bm]

[Tulisan ini merupakan ulasan atas makalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud yang berjudul Dewesternization and Islamization: Their Epistemic Framework and Final Purpose, yang dipresentasikan pada The International Conference on Islamic University Education in Russia and its Surrounding Areas, Kazan, Tatarstan, Russia 27-30 September 2009]

Download file pdf Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 7, 16 Muharrom 1434 H / 30 November 2012 http://www.scribd.com/doc/114865613

Tampilan Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 7, 16 Muharrom 1434 H / 30 November 2012




Kamis, 22 November 2012

Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 6, 09 Muharrom 1434 H

Ukhuwah Islamiyah

“Dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Alloh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat itu, sebagai orang-orang yang bersaudara” (Q.S. Ali ‘Imron [3]: 103).”

A. Latar Belakang
Mencintai sesama Muslim dan mengikat tali ukhuwah (persaudaraan) merupakan suatu perbuatan yang amat mulia dan sangat penting. Alloh SWT menyatakan persaudaraan sebagai sifat kaum Muslim dalam kehidupan dunia dan akhirat. Persaudaraan yang terjalin antara kaum Muslim merupakan anugerah nikmat yang sangat besar dari Alloh SWT.
Ukhuwah yang terjalin antara sesama Muslim tersebut dibangun di atas asas iman dan aqidah. Ia adalah persaudaraan yang terbina karena Alloh SWT dan merupakan tali iman yang paling kuat. Oleh karenanya ikatan persaudaraan antara sesama Muslim merupakan model persaudaraan yang paling berharga dan hubungan paling mulia yang mungkin terbentuk antara sesama manusia. 

B. Arti Penting Ukhuwah Islamiyah
Persaudaraan antar Muslim lebih unggul dari hubungan persaudaraan dengan saudara kandung sendiri, karena ikatan aqidah lebih kukuh dari ikatan keturunan. Hal ini dapat disimak dari dialog Nabi Nuh AS:
“Ya Robbi, sesungguhnya anakku termasuk dalam keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim Yang Seadil-adilnya”. “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk dalam keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah perbuatan yang tidak baik. Oleh sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya. Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan (tidak mengerti)” (Q.S. Hud [11]: 45-46).

Mengingat urgesi ikatan antar Muslim ini, Alloh SWT mencatat keutamaan dan pahala yang sangat besar bagi para pelakunya. Dalam hadits dinyatakan:
“Orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku akan diberikan padanya mimbar dari cahaya yang dicemburui (ghibthah) oleh para Nabi dan syuhada.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad)

“Suatu hari, seseorang melakukan perjalanan untuk mengunjungi saudaranya yang tinggal di suatu kampung. Maka Alloh mengutus seorang malaikat untuk mencegat di suatu tempat di tengah-tengah perjalanannya. Ketika orang tersebut sampai di tempat tersebut, malaikat bertanya: “Hendak kemana engkau ?. Ia menjawab: “aku hendak mengunjungi saudaraku yang ada di kampung ini”. Malaikat kembali bertanya: “Apakah kamu punya kepentingan duniawi yang diharapkan darinya ?”. Ia menjawab: “Tidak, kecuali karena aku mencintainya karena Alloh”. Lantas malaikat tersebut berkata (membuka identitasnya): “Sesungguhnya aku adalah utusan Alloh yang dikirim kepadamu untuk menyampaikan bahwa Alloh telah mencintaimu seperti engkau mencintai saudaramu.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Alloh SWT menurunkan banyak ayat yang berkaitan dengan tema ukhuwah, di antaranya adalah dua ayat dalam surat al-Hujurot, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olok). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk setelah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Sukakah di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurot [49]: 11-12).

Dengan amaliyah yang nyata dari nilai-nilai keimanan di tengah-tengah kehidupan sosial jama’ah, dengan seluruh pendekatan inilah, secara simultan, Rosululloh SAW mendidik komunitas kecil yang saling terkait dengan tali ukhuwah yang mampu menciptakan keajaiban-keajaiban spektakuler serta membangun konstruksi bangunan yang kokoh dan saling terkait, di mana masing-masing sisi memperkuat sisi yang lain. Seseorang tidak berarti jika hanya seorang diri, namun sangat besar nilainya jika banyak saudara. Permasalahan dapat diatasi, beban dan penderitaan menjadi ringan. 
Setan dapat menyesatkan manusia dengan menanamkan kebencian. Ia terus melakukan propaganda sehingga manusia memilih menyendiri, lemah dan malas. Manusia akan dikuasai nafsu dunia melalui khayalan-khayalan. Hati semakin asing dari saudara dan kawan, asing dari dakwah, serta majelis-mejelis ilmu. Alloh SWT telah bersumpah dalam firman-Nya:
“ Demi masa, sesunguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling menasihati dengan kebenaran, dan saling menasihati dengan kesabaran.” (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3).

Nasihat-menasihati macam apakah yang dapat dilakukan jika seseorang tidak mau bergaul dengan orang lain. Perselisihan kerap terjadi lantaran hilangnya keakraban di antara manusia. Umat yang seharusnya berpadu sebagaimana satu tubuh, kini tercabik-cabik dalam jumlah yang tidak mungkin terhitung lagi, menjalani kehidupan yang membosankan, kering, kasar, tiada ruh dan tiada arti. Kehangatan dan keakraban tidak hilang seketika dari kehidupan manusia, melainkan diawali oleh berbagai sebab. Oleh karena itu kita mesti selalu mawas diri agar terhindar dari bujuk-rayu setan yang dapat mengakibatkan kita menyelekan atau bahkan memutuskan tali persaudaraan antar sesama Muslim. Wallohu a’lam.

Download file pdf Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 6, 09 Muharrom 1434 H http://www.scribd.com/doc/114124104



Kamis, 15 November 2012

Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 5, 2 Muharrom 1434 H

Menata Masa Depan Kekayaan Alam Di Indonesia 

“Perjuangan untuk menegakan konstitusi yang kami sebut dengan jihad konstitusi ini tidak akan berhenti. Akan segera kami tindak lanjuti dengan mengajukan permohonan terhadap Undang-Undang lain yang kami yakini merugikan rakyat.” (Prof. Dr. Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah). 

A. Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas (UU Migas). Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) bertentangan dengan UUD 1945.

UU Migas digugat ke MK oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama Hasyim Muzadi, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, politisi Muslim Ali Mochtar Ngabalin dan 12 ormas Islam, diantaranya yaitu Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jamiyatul Washliyah dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Uji materi UU Migas oleh tokoh Muslim dan ormas Islam adalah peristiwa yang memiliki arti penting. Peristiwa tersebut seharusnya menyadarkan kita tentang kekuatan ukhuwah Islamiyah dan betapa peliknya persoalan pengelolaan kekayaan alam di Indonesia. 

B. Arti Penting Uji Materi UU Migas 

Arti penting uji materi UU Migas setidaknya ada dua, yaitu pertama, uji meteri UU Migas membuktikan kepada kita bahwa umat Islam di Indonesia ternyata dapat bersatu untuk memperjuangkan bukan hanya isu tentang agama. Umat Islam di Indonesia ternyata dapat mengesampingkan perbedaan-perbedaan sepele dan mampu bersatu untuk fokus pada isu yang lebih penting terkait dengan kemaslahatan yang lebih luas. Selain itu terbukti juga bahwa umat Islam di Indonesia ternyata mampu memetakan masalah dan menentukan sikap terkait dengan persoalan di luar isu agama. Harusnya di masa mendatang tidak boleh lagi ada keraguan mengenai kompetensi umat Islam dalam mengelola urusan di republik Indonesia. Kedua, uji materi UU Migas dapat menunjukan pada bangsa Barat bahwa Indonesia kini bertekad untuk lepas dari segala bentuk penjajahan, terutama penjajahan dalam bidang ekonomi. Bangsa Indonesia, terutama umat Islamnya tidak akan lagi tinggal diam dengan kepongahan dan kelicikan perusahaan-perusahaan Asing yang merampok kekayaan alam Indonesia.

C. Menata Masa Depan Energi di Indonesia 

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ini adalah anugerah dari Alloh SWT, sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk memanfaatkannya demi kemaslahatan bersama. Banyak sudah penyimpangan yang terjadi di masa lalu terkait dengan persoalan energi, namun begitu kita harus mampu memisahkan antara sistem dan oknum karena kedua hal tersebut berbeda. Oknum akan selalu ada, namun sistem yang baik mampu meminimalisir munculnya oknum.

Sistem itu ibarat rumah, semakin baik struktur rumah tersebut, semakin nyaman dan aman orang yang tinggal di dalamnya. Ada saja mungkin salah seorang penghuni rumah yang mencoba merusak sistem, membongkar pintu dan jendela, menjual segala hal yang ada di dalam rumah, namun hal tersebut tidak membuktikan bahwa kita tidak perlu lagi memiliki rumah yang baik, kita tidak perlu lagi sistem yang baik, pemikiran seperti ini jelas merupakan kesesatan penalaran. Justru karena ada potensi hilangnya segala hal yang ada di dalam rumah, kita perlu membuat rumah yang baik, gila jika kita justru meletakan begitu saja harta kekayaan kita di luar rumah karena karena takut jika harta kekayaan kita di simpan di dalam rumah sewaktu-waktu mungkin bisa hilang. 

Uji materi UU Migas bertujuan untuk menciptakan tata kelola Migas yang baik atau dengan kata lain bertujuan menciptakan sistem yang baik. UU Migas yang selama ini dijalankan dinilai terlalu merugikan kepentingan Indonesia. Ambil contoh tentang BP Migas yang pendiriannya dimungkinkan lewat UU Migas tahun 2001 yang merupakan UU bernuansa liberal hasil lobi perusahaan-perusahaan Asing. Sejak awal kiprahnya BP Migas terlihat sekali memihak perusahaan-perusahaan Asing, diantaranya kasus penjualan gas LNG Tangguh ke Cina dengan harga yang sangat murah, kasus wanprestasi pengiriman gas ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menyebabkan PLN mengalami inefisiensi hingga puluhan triliun, dan kasus ladang gas di blok Mahakam yang lebih mengutamakan perusahaan Prancis (Total) dan Jepang (Inpex) daripada Pertamina. 

Lebih parah lagi keberadaan BP Migas itu membuat negara tersandera oleh kepentingan asing karena BP Migas bukanlah perusahaan, jadi ketika ia mewakili negara dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan perusahaan Asing, maka jika sewaktu-waktu terjadi persengketaan, perusahaan Asing tersebut dapat menggugat negara, bukan BP Migas di pengadilan internasional. Hal ini sangat merendahkan martabat negara dan konsekuensinya seluruh kekayaan yang dimiliki negara termasuk yang terkandung di dalamnya dapat menjadi objek gugatan. Hal ini sangat berbahaya. Berbeda misalnya jika KKS tersebut dilakukan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina dengan perusahaan Asing, maka jika sewaktu-waktu terjadi persengketaan, perusahaan Asing tersebut tidak dapat menggugat negara, karena Pertamina tidak mewakili negara, yang harus digugat adalah Pertamina sebagai perusahaan, sehingga martabat negara dan kekayaan negara secara luas dapat diselamatkan.

Uji materi UU Migas adalah satu dari sekian banyak ikhtiar yang di masa-masa mendatang harus terus diupayakan oleh umat Islam. Selain menjaga agar sistem yang ada benar-benar mampu menaungi kemaslahatan umat, potensi-potensi penyimpangan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab juga harus terus dicegah dan diawasi. Alasan bahwa orang Indonesia masih tertinggal dalam bidang teknologi dan tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola kekayaan alam negrinya tidak lagi dapat diterima, teknologi dapat dibeli dan modal bisa diupayakan. Wallohu a’lam.

Download file pdf Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 5, 2 Muharrom 1434 H http://www.scribd.com/doc/113418912


Tampilan Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 5, 2 Muharrom 1434 H




Kamis, 08 November 2012

Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 4, 24 Dzulhijjah 1433 H


Budaya Ilmu Dalam Islam

“Bermula kejayaan dan kejatuhan bangsa itu lantaran ilmu. Naik harkat dan martabatnya pun berkat iman dan ilmu. Runtuh dan terpuruknya, lemah dan hina karena tiada ilmu. Sejarah adalah saksi bagi kebenaran sunnatullah ini. Ilmu laksana cahaya bagi manusia, penerang akalnya, pembangkit peradaban, pembawa kebahagiaan. Namun, ilmu tidak datang dengan sendirinya. Ia mesti dicari, ditekuni dan dihayati. Ilmu sejati pusaka para nabi itulah yang paling tinggi, ilmu-ilmu lain fardhu kifayah walaupun tetap berarti.” (Dr. Syamsuddin Arif, Membangun “Knowledge Society” dalam Islam Versus Liberalisme).

A. Latar Belakang

Umat Islam, terutama kalangan mudanya, sangat minim pengetahuannya tentang masa-masa kegemilangan peradaban Islam. Mungkin tidak banyak di antara mereka yang tahu bahwa ketika London gelap gulita di malam hari dan Prancis becek di waktu hujan, di Cordoba dan Baghdad jalan-jalannya sudah mulus dan di malam hari terang benderang. Dalam bidang pengetahuan, koleksi buku seorang ulama di Baghdad mencapai 400 ribu judul, sementara isi perpustakaan raja Prancis hanya 400 judul buku.

Ketidaktahuan generasi muda Muslim akan kegemilangan peradaban Islam membuat mereka minder, merasa rendah diri jika berhadapan dengan bangsa Barat yang kafir. Bukan hanya raga, namun jiwa dan akal mereka pun dipersembahkan di altar pemujaan peradaban Barat, padahal setiap Muslim seharusnya tahu bahwa tidak ada kebenaran sejati selain Islam.

Ketidakyakinan akan keunggulan Islam disebabkan karena umat Islam kini enggan mempelajari khazanah kelimuan Islam yang begitu luas dan mendalam. Budaya ilmu yang dahulu kala ditumbuh-suburkan oleh para ulama dan cendikiawan Muslim telah ditinggalkan, diganti dengan budaya hura-hura dan konsumerisme yang merupakan budaya Barat.


B. Makna Budaya Ilmu

Budaya ilmu ialah (i) kondisi dimana setiap anggota dan lapisan masyarakat melibatkan diri secara langsung maupun tidak langsung dalam pelbagai kegiatan ilmiah pada setiap kesempatan: gemar membaca, mempelajari, meneliti, mendiskusikan aneka persoalan keilmuan. Budaya ilmu terwujud (ii) apabila setiap orang sebagai individu maupun sebagai entitas kolektif (masyarakat, bangsa, umat) membuat segala pilihan, keputusan dan tindakan yang diambilnya atas dasar ilmu. Ciri lain dari budaya ilmu adalah (iii) sikap menjunjung tinggi ilmu, situasi dimana ilmu menempati kedudukan tertinggi dalam tata nilai setiap pribadi dan masyarakat pada semua lapisan, yang diejawantahkan dengan penghargaan tinggi kepada setiap individu maupun lembaga yang aktif mencari, meneliti, mengembangkan dan menyebarkan ilmu.

Asas-asas budaya ilmu tersebut sebenarnya terperi dalam ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-firman Alloh SWT, diantaranya yaitu “Wahai Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu” (Qur’an Surat Thaahaa [20]: 114). “Apakah sama, mereka yang berilmu dan tak berilmu?” (Qur’an Surat Az Zumar [39]: 9), “Hanya mereka yang berilmu dari kalangan hamba Alloh yang gentar kepada-Nya” (Qur’an Surat Faathir [35]: 28) dan “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu tentang agama” (Qur’an Surat at-Taubah [9]: 122).

C. Pembudayaan Ilmu pada Masa Awal Islam

Dalam sejarah Islam, pembudayaan ilmu telah dirintis oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau memberantas buta-huruf dengan menganjurkan para Sahabat belajar baca-tulis, menyuruh Zayd bin Tsabit belajar bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani (Syriac) kepada ulama Bani Isra’il (Ahlul Kitab). Beliau juga melantik sejumlah Sahabatnya menjadi juru tulis pencatat wahyu al-Qur’an dan Ĥadis, penulis surat-surat diplomatik dan sebagainya. Beliau sendiri aktif mengajarkan al-Qur’an, memberikan ceramah, nasihat, fatwa dan pengadilan (qadha’). Imam al-Bukhārī meriwayatkan bahwa tiap seminggu sekali Rosululloh menyediakan waktu satu hari khusus bagi kaum ibu termasuk istri dan putri-putrinya untuk belajar dan bertanya tentang pelbagai persoalan agama. Bimbingan khas diberikan kepada beberapa orang dewasa (semisal Abu Hurayrah ra) maupun kanak-kanak (sepertil ‘Abdullah bin ‘Abbas ra) dan ahli keluarganya (‘A’isyah binti Abī Bakr ra). Pendek kata, pendidikan, pengajaran, pembahasan dan penyebaran ilmu telah dimulai sejak abad pertama Hijriah.

Proyek pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakr dan Khalifah ‘Utsman mustahil terlaksana sekiranya tradisi ilmu di kalangan Sahabat Nabi saw. belum terwujud. Khalifah Umar ibn al-Khattab yang dikenal sebagai ahli strategi perang dan negarawan ulung sangat menghargai ahli ilmu, sedang Khalifah Ali dikagumi ketajaman nalar dan kedalaman ilmunya, disamping kepahlawanannya. Ada banyak riwayat yang bisa kita simak tentang kegiatan ilmiah para tokoh generasi awal umat Islam. Abu’l-Aswad ad-Du’alī, misalnya, merumuskan ilmu linguistik (tata bahasa, morfologi dan orthografi) atas petunjuk Khalifah ‘Ali ra. Ilmu tafsir diletakkan dasar-dasarnya oleh ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Kegiatan mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi saw dalam bentuk skroll dilakukan oleh ‘Abdullah ibn ‘Amr (dinamakan as-Shahīfah as-Shadiqah). Upaya mendokumentasi dan mengoleksi hadits dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka semisal, ‘Urwah ibn az-Zubayr (w. 94 H), Muhammad ibn Syihab az-Zuhrī (w. 124 H), Hammam ibn Munabbih (w. 132 H) dan banyak lagi. Kurun kedua hijriah pun menyaksikan lahirnya tokoh-tokoh ilmuwan dengan kepakaran masing-masing. Imam Abu Hanīfah (w. 150 H) di Kufah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar (mengenai teologi), Imam al-Awza‘ī (w. 157 H) di Damaskus mengarang kitab as-Siyar (prinsip-prinsip hubungan internasional), Imam Malik (w. 179 H) di Madinah menyusun kitab al-Muwatta’ (kompilasi hukum Islam), dan Imam as-Syafi‘ī (w. 204 H) di Baghdad merumuskan ilmu ushul fiqh (jurisprudensi Islam) dalam kitabnya yang masyhur: al-Risalah. Wallohu a’lam.


Download file pdf Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 4, 24 Dzulhijjah 1433 H http://www.scribd.com/doc/112624017



Kamis, 01 November 2012

Buletin Jum'at Gerbang Muhlisin Edisi 3, 17 Dzulhijjah 1433 H


Ilmu Fardhu ‘Ain Dan Ilmu Fardhu Kifayah

“Kekacauan yang mewarnai kurikulum pendidikan modern di kebanyakan negara Muslim sekarang ini, dalam banyak hal, disebabkan oleh hilangnya visi hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Dalam tradisi intelektual Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubungan antar berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan (keesaan) dalam kemajemukan bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan tetapi juga dalam dunia pengetahuan.” (Seyyed Hossein Nasr, Kata Pengantar Buku Hierarki Ilmu Karya Osman Bakar)

A.      Latar Belakang
Westernisasi dalam berbagai aspek kehidupan telah membuat umat Islam tercerabut dari akar tradisi keislamannya. Peradaban Barat telah sejak lama dijadikan tolok ukur bahkan dijadikan standar kebenaran yang berakibat terjadinya kekacauan pengetahuan (confusion of knowledge).
Umat Islam, terutama kalangan mudanya, tidak lagi menganggap mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu agama sebagai suatu keutamaan. Hal ini tentu membuat kita miris karena peradaban Islam yang begitu agung dan berlangsung selama berabad-abad, lebih lama umurnya dari peradaban Barat, dibangun melalui khazanah keilmuan Islam, namun umat Islam kini justru tak lagi berhasrat untuk menggali, mempelajari dan mengamalkan khazanah keilmuan Islam yang sangat kaya dan cemerlang.
Sebagai upaya untuk mempromosikan kembali khazanah keilmuan Islam, maka dalam kesempatan ini akan diuraikan secara sederhana tentang konsep ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Dua konsep ini sangat penting karena merupakan fondasi dari struktur ilmu.

B.      Fitrah Manusia
Manusia diciptakan oleh Alloh SWT mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Fitrah yang dibawa manusia sejak dalam kandungan merupakan perwujudkan komitmen antara manusia sebagai makhluk dan Alloh SWT sebagai Tuhannya (Qur’an Surat 30, al-Rum: 30). Hal ini menegaskan bahwa bubungan fitrah dengan agama tidak bertentangan, malah sebaliknya saling melengkapi.

Fitrah keislaman manusia yang sudah terbentuk sejak dalam kandungan ibunya merupakan  suatu kontrak akidah. Alloh SWT telah mempersaksikan-Nya sendiri secara langsung dihadapan makhluk-Nya yang direspon  secara positif (Qur’an Surat 7, al-‘Araf: 172). Alloh SWT menciptakan manusia dan menganugerahkan kehendak bebas yang memampukan manusia untuk membuat pertimbangan dan memilih mana jalan yang akan ditempuh, ke jalan yang baik atau ke jalan yang buruk (Qur’an Surat 18, al-Kahfi: 29). Hal ini mengisyaratkan pentingnya umat Islam untuk memilah-milah mana pengetahuan yang baik dan mana pengetahuan yang buruk, mana pengetahuan yang penting dan mana pengetahuan yang sepele agar manusia tidak keliru dalam meniti jalan kehidupan.

C.      Ilmu Fardhu ‘Ain Dan Ilmu Fardhu Kifayah
Istilah fardhu ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap Muslim, sedangkan istilah fardhu kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah ilahi dan bersifat mengikat bagi komunitas Muslim sebagai suatu kesatuan walaupun tidak mesti mengikat setiap angggota komunitas atau dengan kata lain kewajiban yang jika sudah dijalankan oleh sejumlah kaum Muslim, maka kaum Muslim lain yang tidak menjalankan kewajiban tersebut tidak berdosa.
Terkait dengan ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah, al-Ghozali mengelompokan ilmu menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok ilmu religius dan kelompok ilmu intelektual, berikut ini skemanya:
1.       Ilmu Religius
a.       Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul), terdiri dari ilmu tentang keesaan Tuhan (‘ilm al-tauhid), ilmu tentang kenabian, ilmu tentang akhirat (eskatologi), dan ilmu tentang sumber pengetahuan religious (Qur’an, Sunnah, konsensus ulama  atau ijma dan tradisi para Sahabat Nabi SAW).
b.      Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip turunan, terdiri dari ilmu tentang ibadah kepada Alloh SWT, ilmu tentang kewajiban kepada diri sendiri (ilm’ al-akhlaq) dan ilmu tentang kewajiban kepada masyarakat.

2.       Ilmu Intelektual
a.       Matematika (aritmetika, geometri, astronomi)
b.      Logika
c.       Fisika atau Ilmu Alam (kedokteran, meteorologi, mineralogi, kimia)
d.      Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam inderawi atau metafisika (ontology, esensi, sifat dan aktivitas ilahi)

Menurut al-Ghozali, semua ilmu religius merupakan ilmu yang terpuji dan layak untuk dipelajari dan diamalkan, namun tidak semua ilmu religius tersebut wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap Muslim. Ilmu yang termasuk ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang terkait dengan praktik ibadah karena berhubungan dengan rukun Islam, seperti tata cara sholat yang benar, ilmu tentang zakat, puasa dan naik haji.  Ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah ilmu tentang tafsir Qur’an, prinsip-prinsip yurisprudensi dan ilmu-ilmu intelektual (matematika, logika, fisika dan metafisika).
Al-Ghozali mengingatkan bahwa dalam rangka mempelajari ilmu fardhu kifayah, seorang muslim harus mengacu pada 3 (tiga) prinsip umum, yaitu pertama, seseorang haruslah mendahulukan ilmu fardhu ‘ain daripada  ilmu fardhu kifayah. Kedua, seseorang harus membuat skala prioritas ilmu fardhu kifayah karena ilmu fardhu kifayah jumlahnya banyak dan memiliki derajat keutamaan yang berbeda-beda. Ketiga, seseorang harus menahan diri mempelajari ilmu fardhu kifayah jika ilmu tersebut telah dipelajari orang lain dalam jumlah yang memadai.
Tujuan utama merumuskan jenjang-jenjang ilmu, memprioritaskan ilmu fardhu ‘ain daripada  ilmu fardhu kifayah adalah agar umat Islam terjaga keimanannya, tidak meremehkan Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pengetahuan. Pada konteks ke-kini-an, pengelompokan ilmu ke dalam kelompok ilmu fardhu ‘ain daripada  ilmu fardhu kifayah adalah untuk membentengi kaum Muslim dari bahaya peradaban Barat yang sekuler, hedonis dan jahil. Wallohu a’lam.