Jumat, 25 Januari 2013
Kamis, 17 Januari 2013
Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 14, 06 Robiul Awal 1434 H / 18 Januari 2013
Tanya-Jawab Seputar Wudhu Dan Tayammum
(Bagian 3)
“Bumi seluruhnya telah dijadikan untukku dan untuk umatku sebagai masjid (tempat sholat) dan alat bersuci. Di mana pun seseorang dari umatku mendapati waktu sholat, maka disitulah masjidnya dan alat bersucinya” (Hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dari jalur ‘Amru bin Su’aib dari ayahnya dari kakeknya).
A. Latar Belakang
Buletin Gerbang Muhlisin edisi kali ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya tentang tanya-jawab seputar wudhu dan tayammum.
B. Tanya-Jawab Seputar Wudhu Dan Tayammum
3. Pertanyaan: “Apakah tanah yang digunakan untuk tayammum harus tanah yang langsung berasal dari permukaan bumi (tidak boleh dari debu yang menempel di kursi atau dinding) ?”
Jawaban:
Penjelasan mengenai kondisi-kondisi apa saja yang membolehkan seorang muslim untuk bertayammum dan tata cara tayammum telah kami uraikan pada Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 9 (30 Muharrom 1434 H/14 Desember 2012), sedangkan dalil disyariatkannya tayammum adalah Qur’an Surat Al-Maa’idah [5] Ayat 6 dan Surat An-Nisaa’ [4] Ayat 43 serta hadits berikut ini:
“Bahwasanya debu yang bersih adalah sebagai pembersih bagi orang muslim, walaupun ia tidak mendapatkan air (selama) sepuluh tahun.” (Hadist shohih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi).
Ada 2 (dua) pendapat ulama tentang tanah yang boleh digunakan untuk bertayammum, yaitu:
a) Pendapat pertama, tanah yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah permukaan bumi secara mutlak, baik pasir, gunung, kerikil, batu, kapur, marmer maupun tanah. Ini adalah pendapat madzab Abu Hanifah, Abu Yusuf, Malik dan Ibnu Taimiyah. Dalilnya adalah Qur’an Surat Al-Kahfi [18] Ayat 8 dan Ayat 40 serta hadits-hadits berikut ini:
“Manusia dikumpulkan pada Hari Kiamat di satu tanah.” (Hadits shohih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim).
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Saya sendiri dan Abdulloh bin Yasar, bekas budak Maimunah, isteri Nabi pergi hingga kami sampai di (rumah) Abu Juhaim bin al-Harist bin ash-Shimah al-Anshori. Lalu Abu Juhaim mengatakan, “Nabi datang dari arah sumur Jamal (daerah di dekat kota Madinah), lalu bertemu dengan seorang sahabat, kemudian mengucapkan salam kepadanya. Namun Nabi belum menjawabnya sebelum mendekat ke tembok, (setelah menepukan kedua tapak tangannya pada tembok). Lalu beliau mengusap wajahnya dan kedua tangannya, kemudian menjawab salamnya.” (Hadits shohih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim).
b) Pendapat kedua, tanah yang boleh digunakan untuk tayammum haruslah berasal dari permukaan bumi secara langsung. Ini adalah madzab asy-Syafi’i, Hanabilah, Abu Tsaur dan Ibnu al-Mundzir. Dalilnya adalah hadits-hadits berikut ini:
“Bumi telah dijadikan untukku sebagai masjid [dan tanahnya dijadikan untukku sebagai alat untuk bersuci].” (Hadits shohih diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Hibban, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi. Namun tambahan “…dan tanahnya dijadikan untukku sebagai alat untuk bersuci.” diperselisihkan oleh para ulama dan yang benar adalah tanpa tambahan tersebut).
“Telah diberikan kepadaku apa yang tidak pernah diberikan kepada nabi-nabi sebelumku: aku ditolong dengan ketakutan (yang menghinggapi musuhku), aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi, aku diberi nama Ahmad, dan tanah dijadikan untukku sebagai alat bersuci, dan umatku dijadikan sebagai sebaik-baik umat.” (Hadits munkar diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Baihaqi).
Pendapat yang lebih rojih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan bahwa boleh bertayammum dengan segala sesuatu yang disebut permukaan bumi, atau sesuatu yang terdapat pada bumi, seperti debu dan sejenisnya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa tanah yang digunakan untuk tayammum haruslah tanah yang langsung berasal dari permukaan bumi perlu dikoreksi dari 2 (dua) aspek, yaitu:
1) Tidak adanya dalil shohih yang digunakan untuk menopang pendapat tersebut.
2) Kata “turbah” dan “turab” berbeda maknanya, jika turab bermakna tanah, sedangkan turbah bermakna bumi, sebagaimana hadits dari Abu Hurairoh yang diriwayatkan oleh Muslim: “Rosululloh memegang tanganku seraya berkata, Alloh menciptakan Turbah pada hari Sabtu.” Dalam Lisan al-Arab disebutkan “Alloh menciptakan Turbah pada hari Sabtu,’ maksudnya adalah bumi.”
Dalam realitas kehidupan seringkali kita sulit menjumpai tanah yang langsung berasal dari permukaan bumi. Ketika kita sedang berpergian menggunakan bus, pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api, tidaklah mungkin bagi kita untuk menghentikan laju kendaraan hanya untuk mengambil tanah guna tayammum. Alloh tidak menghendaki kesukaran bagi mahluk-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Qur’an Surat Al-Baqoroh [2] Ayat 185: “Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Jadi menurut hemat kami, bertayammum menggunakan debu yang menempel di kursi, dinding maupun benda padat lainnya diperbolehkan. Dengan syarat kursi, dinding maupun benda padat lainnya tersebut suci atau terbebas dari najis. Macam-macam benda najis telah kami uraikan pada Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 13 (28 Safar 1434 H/11 Januari 2013). Wallohu a’lam.
Sumber:
Badawi Al-Khalafi, Abdul Azhim. 2008. Al-Wajiz, Pustaka as-Sunnah, Jakarta, Halaman 122
Qaradhawi, Yusuf. 2004. Fikih Thaharah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Halaman 344-347
Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. 2009. Shahih Fiqih Sunah Jilid 1, Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Halaman 248-273
Download file pdf Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 14, 06 Robiul Awal 1434 H / 18 Januari 2013 http://www.scribd.com/doc/ 120780068/ Buletin-Gerbang-Muhlisin-Edisi- 14-06-Robiul-Awal-1434-H-18-Ja nuari-2013
Tampilan Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 14, 06 Robiul Awal 1434 H / 18 Januari 2013
Kamis, 10 Januari 2013
Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 13, 28 Safar 1434 H / 11 Januari 2013
Tanya-Jawab Seputar Wudhu Dan Tayammum
(Bagian 2)
“Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (Qur’an Surat At-Taubah [9]: Ayat 108)
A. Latar Belakang
Buletin Gerbang Muhlisin edisi kali ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya tentang tanya-jawab seputar wudhu dan tayammum.
B. Tanya-Jawab Seputar Wudhu Dan Tayammum
2. Pertanyaan: “Apakah kita boleh wudhu menggunakan air yang direbus (air hangat) ketika kondisi cuaca dingin atau ketika sakit ?”
Jawaban:
Dalam kaitannya dengan bersuci (wudhu), ulama membagi air menjadi 2 (dua) macam, yaitu air mutlak (air suci) dan air najis.
a) Air Mutlak
Air mutlak adalah air yang tetap pada bentuk asal penciptaannya, yaitu setiap air yang keluar dari bumi atau turun dari langit sebagaimana firman Alloh SWT dalam Surat Al-Anfaal [8] Ayat 11. Termasuk dalam kategori ini adalah air sungai, salju, embun, air sumur, dan air laut. Air ini boleh dipakai untuk bersuci tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Namun air mutlak tidak dapat digunakan untuk bersuci (wudhu) jika mengalami 2 (dua) kondisi berikut ini, yaitu:
1) Jika air mutlak tercampur dengan gula, teh, tepung dan yang serupa dengannya. Air mutlak yang sudah tercampur tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci, walaupun air tersebut tetap berada dalam keadaan suci (boleh diminum atau diolah menjadi makanan).
2) Jika air mutlak telah bercampur dengan najis yang mengubah warna, bau dan rasa air mutlak tersebut.
Ulama berbeda pendapat mengenai banyak atau sedikitnya air mutlak yang dapat mengalami perubahan warna, bau dan rasa. Sebagian mereka berkata bahwa air yang sedikit menjadi najis jika masuk barang najis ke dalamnya walaupun warna, bau dan rasanya tidak berubah, berbeda dengan air yang jumlahnya banyak. Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad menyatakan bahwa yang disebut air yang jumlahnya banyak adalah air yang mencapai 2 (dua) qullah. Menurut penjelasan (syaroh) dari para fuqoha (ulama ahli fiqih), volume 2 (dua) qullah sama dengan tempat air yang panjang, lebar dan dalamnya satu seperempat hasta atau kurang lebih 60 cm, jadi isinya = 60 x 60 x 60 cm kubik = 216.000 cm kubik = 216 dm kubik = 216 liter. Air yang mencapai 2 (dua) qullah ini dianggap tidak ternajiskan oleh sesuatu apapun, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Umar: “Jika air telah mencapi dua qullah, maka ia tidak ternajiskan oleh sesuatupun.” (Hadits ini dishohihkan oleh Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Namun pendapat yang kami pegang adalah sebagaimana pendapat dari Ibnu Al-Mundzir yang menyatakan bahwa: “Para ulama telah bersepakat bahwa air yang jumlahnya sedikit atau banyak, jika ada najis yang jatuh ke dalamnya lalu mengubah warna, bau dan rasa, maka air itu najis.” Kami memegang pendapat ini selain karena pendapat tersebut merupakan ijma’ (kesepakatan ulama), juga karena kaidah yang menyatakan bahwa “Sesuatu itu jika dia menjadi najis karena sesuatu sebab, maka hukum najisnya hilang bersamaan dengan hilangnya sebab itu.” Jadi selama air tidak berubah warna, bau dan rasanya, air tersebut dapat digunakan untuk bersuci, namun jika air tersebut berubah warna, bau dan rasanya, maka air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci, baik jumlahnya sedikit ataupun banyak.
b) Air Najis
Air najis adalah air yang telah bercampur dengan najis, merubah warna, bau atau rasanya, sehingga orang yang memakainya mengetahui bahwa ia menggunakan air najis. Air ini tidak dapat digunakan untuk berwudhu karena ia najis dengan sendirinya.
Benda-benda najis yang berdasarkan dalil adalah: air kencing dan kotoran manusia (tinja); madzi dan wadi. Madzi adalah cairan bening, halus lagi kental yang keluar ketika syahwat sedang bergejolak, saat bercumbu dengan isteri, ketika mengingat jima’ (bersetubuh) atau menginginkannya, keluarnya tidak memancar, tidak membuat lemas, dan kadangkala tidak merasakan keluarnya. Sedangkan wadi adalah cairan berwarna putih dan kental yang keluar setelah buang air kecil; darah haid; kotoran hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya; air liur anjing; daging babi; dan bangkai (kecuali bangkai ikan, belalang, dan bangkai binatang yang tidak mengucurkan darah, serta tanduk, kuku, rambut, bulu dan tulang dari bangkai).
Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan, maka menurut hemat kami wudhu menggunakan air yang direbus (air hangat) ketika kondisi cuaca dingin atau ketika sakit diperbolehkan karena tidak merubah warna, bau atau rasa dari air tersebut. Wallohu a’lam.
Sumber:
Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. 2009. Shahih Fiqih Sunah Jilid 1, Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Halaman 91-96 dan 135-140
Qaradhawi, Yusuf. 2004. Fikih Thaharah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Halaman 13-37 dan 49-109
Badawi Al-Khalafi, Abdul Azhim. 2008. Al-Wajiz, Pustaka as-Sunnah, Jakarta, Halaman 57-62
Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Muhammad. 2008. Subulus Salam Jilid 1, Darus Sunnah Press, Jakarta, Halaman 32-89
Download file pdf Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 13, 28 Safar 1434 H / 11 Januari 2013 http://www.scribd.com/doc/ 119781819/ Buletin-Gerbang-Muhlisin-Edisi- 13-28-Safar-1434-H-11-Januari- 2013
(Bagian 2)
“Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (Qur’an Surat At-Taubah [9]: Ayat 108)
A. Latar Belakang
Buletin Gerbang Muhlisin edisi kali ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya tentang tanya-jawab seputar wudhu dan tayammum.
B. Tanya-Jawab Seputar Wudhu Dan Tayammum
2. Pertanyaan: “Apakah kita boleh wudhu menggunakan air yang direbus (air hangat) ketika kondisi cuaca dingin atau ketika sakit ?”
Jawaban:
Dalam kaitannya dengan bersuci (wudhu), ulama membagi air menjadi 2 (dua) macam, yaitu air mutlak (air suci) dan air najis.
a) Air Mutlak
Air mutlak adalah air yang tetap pada bentuk asal penciptaannya, yaitu setiap air yang keluar dari bumi atau turun dari langit sebagaimana firman Alloh SWT dalam Surat Al-Anfaal [8] Ayat 11. Termasuk dalam kategori ini adalah air sungai, salju, embun, air sumur, dan air laut. Air ini boleh dipakai untuk bersuci tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Namun air mutlak tidak dapat digunakan untuk bersuci (wudhu) jika mengalami 2 (dua) kondisi berikut ini, yaitu:
1) Jika air mutlak tercampur dengan gula, teh, tepung dan yang serupa dengannya. Air mutlak yang sudah tercampur tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci, walaupun air tersebut tetap berada dalam keadaan suci (boleh diminum atau diolah menjadi makanan).
2) Jika air mutlak telah bercampur dengan najis yang mengubah warna, bau dan rasa air mutlak tersebut.
Ulama berbeda pendapat mengenai banyak atau sedikitnya air mutlak yang dapat mengalami perubahan warna, bau dan rasa. Sebagian mereka berkata bahwa air yang sedikit menjadi najis jika masuk barang najis ke dalamnya walaupun warna, bau dan rasanya tidak berubah, berbeda dengan air yang jumlahnya banyak. Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad menyatakan bahwa yang disebut air yang jumlahnya banyak adalah air yang mencapai 2 (dua) qullah. Menurut penjelasan (syaroh) dari para fuqoha (ulama ahli fiqih), volume 2 (dua) qullah sama dengan tempat air yang panjang, lebar dan dalamnya satu seperempat hasta atau kurang lebih 60 cm, jadi isinya = 60 x 60 x 60 cm kubik = 216.000 cm kubik = 216 dm kubik = 216 liter. Air yang mencapai 2 (dua) qullah ini dianggap tidak ternajiskan oleh sesuatu apapun, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Umar: “Jika air telah mencapi dua qullah, maka ia tidak ternajiskan oleh sesuatupun.” (Hadits ini dishohihkan oleh Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Namun pendapat yang kami pegang adalah sebagaimana pendapat dari Ibnu Al-Mundzir yang menyatakan bahwa: “Para ulama telah bersepakat bahwa air yang jumlahnya sedikit atau banyak, jika ada najis yang jatuh ke dalamnya lalu mengubah warna, bau dan rasa, maka air itu najis.” Kami memegang pendapat ini selain karena pendapat tersebut merupakan ijma’ (kesepakatan ulama), juga karena kaidah yang menyatakan bahwa “Sesuatu itu jika dia menjadi najis karena sesuatu sebab, maka hukum najisnya hilang bersamaan dengan hilangnya sebab itu.” Jadi selama air tidak berubah warna, bau dan rasanya, air tersebut dapat digunakan untuk bersuci, namun jika air tersebut berubah warna, bau dan rasanya, maka air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci, baik jumlahnya sedikit ataupun banyak.
b) Air Najis
Air najis adalah air yang telah bercampur dengan najis, merubah warna, bau atau rasanya, sehingga orang yang memakainya mengetahui bahwa ia menggunakan air najis. Air ini tidak dapat digunakan untuk berwudhu karena ia najis dengan sendirinya.
Benda-benda najis yang berdasarkan dalil adalah: air kencing dan kotoran manusia (tinja); madzi dan wadi. Madzi adalah cairan bening, halus lagi kental yang keluar ketika syahwat sedang bergejolak, saat bercumbu dengan isteri, ketika mengingat jima’ (bersetubuh) atau menginginkannya, keluarnya tidak memancar, tidak membuat lemas, dan kadangkala tidak merasakan keluarnya. Sedangkan wadi adalah cairan berwarna putih dan kental yang keluar setelah buang air kecil; darah haid; kotoran hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya; air liur anjing; daging babi; dan bangkai (kecuali bangkai ikan, belalang, dan bangkai binatang yang tidak mengucurkan darah, serta tanduk, kuku, rambut, bulu dan tulang dari bangkai).
Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan, maka menurut hemat kami wudhu menggunakan air yang direbus (air hangat) ketika kondisi cuaca dingin atau ketika sakit diperbolehkan karena tidak merubah warna, bau atau rasa dari air tersebut. Wallohu a’lam.
Sumber:
Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. 2009. Shahih Fiqih Sunah Jilid 1, Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Halaman 91-96 dan 135-140
Qaradhawi, Yusuf. 2004. Fikih Thaharah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Halaman 13-37 dan 49-109
Badawi Al-Khalafi, Abdul Azhim. 2008. Al-Wajiz, Pustaka as-Sunnah, Jakarta, Halaman 57-62
Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Muhammad. 2008. Subulus Salam Jilid 1, Darus Sunnah Press, Jakarta, Halaman 32-89
Download file pdf Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 13, 28 Safar 1434 H / 11 Januari 2013 http://www.scribd.com/doc/
Kamis, 03 Januari 2013
Buletin Gerbang Muhlisin Edisi 12, 21 Safar 1434 H/04 Januari 2013
Tanya-Jawab Seputar Wudhu Dan Tayammum (Bagian 1)
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qur’an Surat At-Taubah [9]: Ayat 122)
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita berjumpa dengan kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan kita menjalankan syariat Islam secara sempurna, padahal ketentuan-ketentuan syariat terutama yang bersifat fardhu ‘ain (kewajiban yang melekat pada diri setiap muslim) harus dilaksanakan oleh setiap muslim dengan sebenar-benarnya. Pengetahuan untuk menangani kondisi-kondisi tersebut perlu diketahui oleh setiap muslim. Oleh karena itu Buletin Gerbang Muhlisin untuk edisi kali ini dan beberapa edisi mendatang akan menjawab berbagai pertanyaan yang muncul seputar wudhu dan tayammum.
B. Tanya-Jawab Seputar Wudhu Dan Tayammum
1. Pertanyaan: “Jika setelah wudhu/tayammum, kita bersentuhan kulit dengan orang lain yang bukan muhrim, apakah wudhu/tayammum kita batal ?”
Jawaban:
Dalam masalah ini ada 3 (tiga) pendapat ulama:
a) Laki-laki bersentuhan kulit dengan wanita membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan disetujui Ibnu Hazm. Ini juga pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.
b) Tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah madzab Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan Asy-Syaibani. Ini juga pendapat Ibnu Abbas, Thawus, al-Hasan, ‘Atha, dan pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Inilah pendapat yang rojih (kuat).
c) Menyentuh wanita membatalkan wudhu, jika diiringi dengan syahwat. Ini adalah madzab Malik dan Ahmad dalam riwayat yang masyur darinya.
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud “menyentuh perempuan” dalam Qur’an Surat Al-Ma’idah [5] Ayat 6 adalah jima’ (hubungan intim suami-isteri atau bersetubuh), bukan sekedar bersentuhan kulit. Ibnu Abbas memiliki kedudukan istimewa di antara sahabat-sahabat Rosululloh yang lain terkait dengan pemahamannya akan pesan-pesan Qur’an, sehingga tafsir dari beliau lebih didahulukan daripada tafsir lainnya.
Selain itu terdapat pula dalil-dalil lain yang menguatkan bahwa menyentuh wanita itu tidaklah membatalkan wudhu/tayammum, yaitu:
a) Hadits dari Aisyah, ia berkata: “Aku kehilangan Rosululloh dari tempat tidurnya pada suatu malam. Aku mencarinya ternyata tanganku mengenai bagian bawah kedua telapak kaki beliau, sedangkan beliau berada di masjid dan kedua telapak kaki beliau tegak berdiri sambil mengucapkan ‘Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dengan ridho-Mu dari murka-Mu’” (Hadits shohih diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
b) Hadits dari Aisyah, ia berkata: “Aku tidur di hadapan Rosululloh dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Ketika bersujud, beliau memegang kakiku dan aku pun menarik kedua kakiku. Ketika beliau bangkit, aku meluruskannya lagi.” Aisyah melanjutkan, “Ketika itu rumah-rumah belum memiliki lampu” (Hadits shohih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim). Dalam redaksi lain dinyatakan, “Hingga ketika hendak witir, beliau menyentuhku dengan kakinya (untuk membangunkanku)” (Hadits shohih diriwayatkan oleh Nasa’i).
c) Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan, Rosululloh berwudhu karena menyentuh wanita. Adapun pendapat yang menyatakan batalnya wudhu karena menyentuh dengan syahwat dan tidak batal dengan tanpa syahwat, tidak ada dalilnya, namun dikatakan: jika ia wudhu karena menyentuh dengan syahwat (bukan jima’), maka itu baik guna memadamkan syahwat. Seperti halnya dianjurkan berwudhu ketika sedang marah untuk meredakannya. Adapun menilainya sebagai kewajiban, sama sekali tidak benar.
Oleh kerena itu menurut hemat kami pendapat yang dalilnya lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa bersentuhan kulit dengan orang lain yang bukan muhrim tidaklah membatalkan wudhu. Namun demikian hendaknya setiap muslim menjaga secara hati-hati hubungan dengan orang lain yang bukan muhrim sebagaimana peringatan dari Alloh dalam Qur’an Surat an-Nuur [24] Ayat 30-31.
Berjabat-tangan dengan orang lain yang bukan muhrim juga tidak membatalkan wudhu, namun perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa. Sebagaimana Hadits dari Ma’qil bin Yasar, bahwa Rosululloh bersabda: “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahromnya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat. Tujuan kita sholat di antaranya adalah untuk memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat dan juga mengharapkan ridho dari Alloh dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Jadi walaupun bersentuhan dengan bukan muhrim tidak membatalkan wudhu, namun jika kita melakukannya secara sengaja, kita berdosa karena perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan kita mendirikan sholat. Oleh karena itu tidak perlulah berjabat-tangan dengan orang lain yang bukan muhrim, bukan hanya ketika hendak mendirikan sholat, namun juga dalam aktivitas-aktivitas keseharian kita, cukuplah kita mengucapkan salam saja. Wallohu a’lam.
Sumber:
Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. 2009. Shahih Fiqih Sunah Jilid 1, Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Halaman 185-187
Qaradhawi, Yusuf. 2004. Fikih Thaharah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Halaman 235-240
Download file pdf http://www.scribd.com/doc/
Langganan:
Postingan (Atom)